Pengamat: Polisi Jangan Seret ke Politik Praktis

Rencana Mendagri Tjahjo Kumolo menempatkan dua perwira tinggi Polri menjadi pejabat sementara gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara selama Pilkada serentak 2018 terus dikritik. Jika rencana ini tetap dilakukan maka Mendagri diduga bisa melanggar konstitusi dan terutama UU Pilkada.
“Mendagri diduga melanggar konstitusi dan menciderai UU Pilkada. Ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang bisa menjadi penjabat gubernur. Bagaimana mungkin kemudian perwira tinggi Polri aktif bisa disetarakan  dengan pimpinan tinggi madya dan ini terkesan dipaksakan,” tutur pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago dalam siaran persnya  Minggu 28 Januari 2018.

Kebijakan itu diambil karena tidak ada lagi pejabat karier dan profesional di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan pejabat tingkat provinsi untuk mengisi posisi pos penjabat Gubernur.

Padahal dalam Pasal 4 ayat 2 Permendagri Nomor 74 Tahun 2016 menyebutkan penjabat gubernur harus diisi pejabat pimpinan tinggi madya kementerian dalam negeri atau pemerintah provinsi. Selanjutnya jabatan pelaksana tugas atau penjabat Gubernur harus berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur Pasal 201 ayat 10 UU Pilkada.

Dia pun mempertanyakan alasan Mendagri Tjahjo Kumolo yang menempatkan pati Polri sebagai pejabat sementara gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara diperbolehkan.

Dua alasan Mendagri, yakni pertama, karena pilkada serentak di 17 provinsi sehingga menyebabkan persediaan pejabat tinggi pimpinan madya di Kemendagri habis. Kedua, Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan daerah dengan jumlah pemilih terbesar di Jawa dan di pulau Sumatera yang rawan konflik sehingga menempatkan pati Polri sebagai penjabat gubernur merupakan pilihan terbaik.

“Memang itu hak prerogatif dari Mendagri, namun jangan sampai terkesan pemerintah suka-suka dalam mengelola negara, dan dikelola secara amatiran. Mengelola negara harus berbasiskan koridor hukum dan sesuai aturan main konstitusi, bukan  regulasi yang dilanggar sesuka hati,” tuturnya.

Untuk alasan pertama, Pangi menilai keliru dan tidak masuk akal ."Bagaimana mungkin persediaan pemimpin tinggi madya habis, artinya tidak mencukupi untuk 17 provinsi. Khusus untuk Jawa Barat dan Sumatera Utara harusnya mendapatkan prioritas khusus, pejabat eselon mendagri yang jadi plt di dua daerah provinsi tersebut," katanya.

Selain itu, kata dia, ada sekretaris daerah atau pejabat di daerah provinsi, apakah juga tidak mencukupi pejabat esalon di provinsi tersebut? "Sekali lagi, apakah betul tidak mencukupi? Mengapa harus pati Polri menjadi Penjabat Gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara?" tandas Pangi.

Dia mengatakan, jangan sampai terkesan Polri terjebak dalam politik praktis. Dia menilai wajar jika ada pihak yang mencurigai kebijakan Mendagri. "Kita meminta TNI dan Polri netral sebagai prajurit aktif, menjaga khitah sebagai prajurit profesional bukan prajurit pretorian atau prajurit kuda besi," tandasnya.

Dia meminta dan akan mengawasi agar TNI dan Polri tidak diseret-seret ke gelanggang ranah politik praktis. Menurut dia, hal itu wajib untuk diwaspadai. Sebab sudah ada sinyal dugaan ke arah sana. "Ada risiko yang tidak main-main, yaitu mengganggu kualitas demokrasi itu sendiri (fair play). Kita ingin memastikan jangan sampai demokrasi dan pilkada dibajak oleh oknum yang punya niat untuk curang dalam kontestasi elektoral Pilkada serentak 2018," tuturnya.

Pangi menegaskan konsekuensi dihapusnya dwifungsi ABRI justru untuk memastikan netralitas Polri yang bertanggungjawab terhadap keamanan negara. Reformasi yang telah berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut, kata dia, jangan digoda-goda terjun ke politik praktis.

“Para kontestan, baik calon bupati, wali kota dan gubernur jangan salahkan mereka nanti menolak hasil proses pemilu karena tidak menjunjung semangat jujur dan adil (jurdil). Jangan paksa dan berharap mereka menerima hasil dengan legowo, apabila diduga ada yang ganjil dan tak beres dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018,” tutur Pangi.

Menurut dia, wajar jika masyarakat menaruh kecurigaan. Ada yang tidak lazim dan peristiwa langkah setelah reformasi bahwa Penjabat Gubernur dari pati Polri.  Keanehan tersebut, kata dia, Mendagri Tjahjo Kumolo adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sementara PDIP mengusung calon kepala daerah di Jawa Barat dengan latar belakang TNI dan Polri.

“Jangan sampai menghalalkan segala cara untuk memenangkan sebuah kontestasi elektoral pilkada dan melanggar regulasi serta fatsun politik. Jangan coba-coba kembali menarik-narik, main mata, atau menjadikan jaringan TNI dan Polri sebagai komoditas politik demi mendulang electoral kemenangan,” jata Pangi. (sindonews.com).

Posting Komentar untuk "Pengamat: Polisi Jangan Seret ke Politik Praktis"