Memanfaatkan Limbah Plastik Jadi Tas Ciamik

foto antaranews
Asyifa Rachmadina Jiniputri (24) memutuskan untuk melakukan upcycle limbah kantong plastik menjadi tas rajut dengan desain yang ciamik bersama ibu-ibu di kawasan Cibunut, Bandung. 

Gadis lulusan S2 Fakultas Seni Rupa dan Desain Insitut Teknologi Bandung itu menyalurkan keahlian dan kecintaannya terhadap dunia rajut dalam proyek yang ia garap.

Asyifa bercerita sudah mengenal crochet dan knitting sejak SMA, tetapi ia baru benar-benar jatuh cinta dan mendalaminya saat menduduki bangku S1. 

Ia mengaku keranjingan merajut karena mendapat efek rileks ketika melakukannya. Ia juga biasa membawa alat rajutnya kemanapun ia pergi. “Rasanya tuh, kalau aku gak ngerajut aneh. Kecanduan kayaknya. Aku kadang suka jadi sedih sendiri gitu loh kalau gak ngapa-ngapain,” cerita Asyifa.

Ide tas berbahan kantong plastik merupakan pengembangan dari riset tugas akhirnya pada  2016. Pada awalnya, Asyifa membuat rajutan produk interior seperti tirai dan taplak meja dari benang polyester pada umumnya. Namun untuk dilanjutkan sebagai tugas tesisnya, ia harus menambahkan nilai kebermanfaatan.  Setelah melakukan berbagai eksplorasi, Asyifa akhirnya mendatangi kawasan RW 07 Cibunut, Bandung.

Pada observasi awal, Asyifa menemukan adanya program bank sampah yang dikelola oleh para warga di sana. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan nilai limbah organik dan anorganik. 

Namun, ternyata ada beberapa sampah anorganik yang tidak bisa dibandrol harga, seperti kantong plastik, bungkus makanan dan minuman. 

Hal itu mendorong inisiatif ibu-ibu warga RW 07 untuk membuat kerajinan seperti keranjang, sarung galon, dompet, dan tempat tisu dari bahan-bahan tersebut. Hasil kerjinan itu biasanya digunakan oleh mereka sendiri di rumahnya masing-masing.

Asyifa memutuskan untuk melakukan upcycle terhadap limbah yang tidak dapat dibandrol di bank sampah tersebut. 

Tidak seperti recycle yang mengubah limbah menjadi bahan yang dapat digunakan kembali, upcycle menjadikannya sebagai barang baru yang memiliki nilai lebih.

Untuk menghasilkan satu tas, ibu-ibu Cibunut membutuhkan waktu sekitar 4-6 hari, tergantung ukuran tasnya. Namun, itu belum termasuk proses panjang pemilahan kantong plastik dari bank sampah hingga menjadi bersih. Terlebih, dibutuhkan minimal 20 kantong plastik ukuran sedang untuk sekali pembuatan.

Tahap pertama yang dilakukan setelah mendapat plastik yang bersih adalah mengguntingnya sesuai dengan lebar yang diinginkan. Selanjutnya, potongan tersebut dijadikan gulungan panjang layaknya benang dan dapat digunakan sebagai bahan rajutan. 

Perbedaan ketebalan plastik yang didapat dari bank sampah menjadi kesulitan tersendiri. “Kalau ketebalan tuh bisa diakalinnya dari lebar pemotongannya (kantong plastik). Jadi kalau misalnya yang tebel 1cm, nah yang tipis misalnya 2cm,” ujar Asyifa.

Beberapa hal yang menjadi konsentrasi Asyifa adalah mengembangkan struktur dan desain dari produk buah tangan ibu-ibu Cibunut menjadi lebih komersil dan tidak monoton. Tujuannya adalah menambah nilai jual dari produk yang dihasilkan, agar benar-benar bisa diminati dan digunakan oleh pasar.

“Imagenya masih sampah banget, warna-warnanya juga masih selera ibu-ibu sekitar sana saja, desain produknya belum berkembang, strukturnya juga belum berkembang,” ujar Asyifa.

Berdasarkan kuisioner yang Asyifa sebar, kualitas dan keamanan menjadi faktor kuat yang dipertimbangkan target potensial untuk membeli produk tasnya. Sehingga ia benar-benar mengontrol kualitas rajutan yang dibuat oleh ibu-ibu di Cibunut berdasarkan desain yang telah ia berikan. 

Untuk menambah kesan aman pada produknya, Asyifa menambahkan kain kulit sintetis di bagian dalam tasnya.  Asyifa berharap produk tas ini bisa berkembang memiliki pasarnya sendiri karena kualitas dan desainnya yang baik. 

Konsistensi dari ibu-ibu Cibunut untuk terus membuat tas rajut ini juga terkadang menjadi tantangan tersendiri. Tidak jarang beberapa di antara mereka akhirnya menyerah karena proses yang cukup melelahkan dan memerlukan ketelitian.  Hingga saat ini, Asyifa baru menemukan 3 orang yang benar-benar konsisten dan sudah ia percaya. 

Ditemui di kawasan Cibunut, salah seorang pengrajin, Lina Nuraeni (48) atau yang biasa disapa Umi Ina, sangat menikmati kegiatan merajut itu. Bahkan Umi yang sehari-harinya berjualan mi kocok di rumahnya terkadang keasyikan merajut hingga mengesampingkan dagangannya. 

Umi Ina  sebenarnya sudah bisa merajut sejak lama, namun sebelumnya ia biasanya menggunakan benang pada umumnya. 


Berbeda dengan Teh Ica (34) yang mengaku pernah belajar merajut, namun lupa dan dilatih lagi oleh Asyifa. Mereka biasanya merajut bersama di halaman rumah mereka, yang dikenal dengan kawasan bercat merah.

Berbagai desain tas yang telah dihasilkan Asyifa bersama para ibu dari Cibunut ini dapat ditemui melalui akun instagram @_maumeu yang dikelola sendiri oleh Asyifa.

Meskipun berencana menjangkau pasar mancanegara, Asyifa tetap berharap masyarakat Indonesia bisa lebih menghargai dan mencintai produk handmade asli Indonesia, terlebih dengan proses upcycle yang juga ramah lingkungan.

“Semoga orang di kita (Indonesia) paham kalau yang handmade itu gak murah, banyak banget proses yang lebih panjang. Semoga paham juga kalau itu tuh (produk handmade) ada jiwanya gitu, gak cuman produk yang dibuat dengan mesin yang cepet beres,” ujar Asyifa. (antaranews).

Posting Komentar untuk "Memanfaatkan Limbah Plastik Jadi Tas Ciamik"