Penulis adalah Seknas BAANAR GP Ansor dan Korwil Densus 26 Madura
Bulan
Oktober ini bulan istimewa. Setidaknya bagi kalangan muda, khususnya
santri di seluruh pelosok negeri. 22 Oktober sebagai Hari Santri dan 28
Oktober yang diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda menjadi momentum
kita menapaktilasi perjuangan anak bangsa dalam merawat ke-Indonesiaan
kita, khususnya santri.
Ada anggapan
membangun sebuah peradaban sepertinya mudah bagi suatu bangsa, tetapi
untuk merawatnya butuh kerja keras dan kerja cerdas seluruh elemen. Kita
tak dapat memungkiri bahwa peran santri sangatlah besar dalam membangun
peradaban yang bernama Indonesia ini.
Tentu
ini juga disokong oleh pelbagai elemen lain. Paling tidak, khususnya
mereka yang skeptis terhadap peran santri, dapat menelisik lebih jauh
pada semangat perjuangan masyarakat santri dalam mempertahankan
kemerdekaan.
Resolusi jihad menjadi cikal
bakal kaum sarungan bahwa peran kaum muda santri dari seluruh pelosok,
khususnya di Jawa Timur sebagai lokasi pertempuran, sedemikian besar
rela mengorbankan jiwa dan raga demi keutuhan NKRI. Begitu dahsyat
semangat dan gelora kaum santri dibawah komando Hadratussyaikh KH Hasyim
Asy’ari. Seluruh lasrkah perjuangan dibawah bendera NU bersatu padu
mempertahankn rajutan merah putih.
Walau kini
sudah 73 tahun berlalu. Semaian perjuangan kiai dan santri dalam laskar
Hizbullah tentu dapat kita semai di dalam setia elemen kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kalau para pejuang dulu mengangkat senjata,
kini saatnya kita mengangkat persaudara dan persatuan dalam meningkatkan
taraf kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahwa
semangat tersebut dirayakan, diuri-uri, dan direfleksikan. Di tubuh
Gerakan Pemuda Ansor sendiri, yang notabene badan otonom NU, bulan
Oktober dimanfaatkan untuk merajut kembali semangat merah putih seluruh
elemen bangsa dalam bentuk Kirab Satu Negeri dan Apel Banser
se-Indonesia di Yogyakarta pada Jumat (26/10) mendatang.
Kirab GP Ansor tak hanya bertujuan politik kebangsaan, lebih dari itu juga ingin meleburkan dakwah Islam yang bercirikan tawasuth (tidak ekstrim kiri atau kanan), tawazun (seimbang), ta’adul (bersikap adil), dan tasamuh
(toleran). Keempat sikap ini yang selalu digaungkan GP Ansor dan
kalangan nahdliyin ke mana-mana dalam rangka ber-Islam dan mencintai
tanah air seperti diajarkan Rasulullah SAW. Bukan Islam yang marah, tapi
Islam yang ramah.
Sikap tawazun membuat
membuat kami menanggapi setiap perbedaan dengan akal sehat. Namun kami
tidak segan-segan jika ada sekolompok orang menjadi kerikil pengusik
toleransi dan keutuhan NKRI. Kepadanya, meminjam bahasanya Gus Yaqut
Cholil Qaumas, tidak segan-segan kami 'gebukin'.
GP
Ansor dan seluruh elemen santri tidak mau identitas kebangsaan kita
terkoyak akibat perbedaan pandangan politik, fanatisme, dan ekstremisme.
Semangat santri, sebagaimana dileburkan dari semangat Resolusi Jihad,
ialah semangat saling menguatkan simpul seluruh elemen bangsa.
Menjadi Indonesia
Kirab
Satu Negeri tidak ada tendensi politik parsial, kecuali hanya
menguatkan politik kebangsaan. Inilah cara GP Ansor sebagai entitas
santri santri menyemarakkan ke-Indonesiaan kita. Menguatkan merah putih
kita. Menjadi Indonesia seutuhnya.
Resolusi
jihad atau seruan jihad mempertahankan kemerdekaan melawan sekutu di
Surabaya memunculkan perang rakyat selama empat hari tanggal 26 hingga
29 Oktober 1945. Perang ini perang cinta tanah air melawan kedzaliman,
kejahatan, dan penjajahan.
Kita sudah mafhum
bahwa mempertahankan kecintaan pada bangsa dan negara adalah fardu ‘ain
atau wajib bagi setiap individu. Bagaimana bisa segelintir orang
mengatakan sistem pemerintahan Indonesia thagut
dan tidak berdasarkan asas ke-Islaman, senyampang mereka belum pernah
membela rakyat, membela bangsanya sendiri, dan berada di medan
pertempuran melawan penjajah? Di sinilah sesat pikir kalangan ekstremis
yang bercita-cita mengubah haluan Indonesia.
Kalangan
santri telah berbuat untuk bangsa ini sejak sebelum merdeka. Santri
tidak hanya tinggal diam dan duduk manis belajar di pesantren. Sejak
dahulu santri ikut bergelirya melawan penjajah. Tak sedikit dari
kalangan santri menjadi korban.
Kami Gerakan
Pemuda Ansor secara tegas menolak dan melawan segala tindakan
intoleransi dan radikalisasi yang hendak merongrong kebhinekaan kita.
Kita ini sama; satu Indonesia. Begitulah tagline yang coba ditanamkan
kalangan muda NU di tengah-tengah ikatan sosial masyarakat.
Sebagai
santri kami ingin menguatkan, sebagaimana dikatakan KH Musthofa Bisri
(2018), sikap kesatria dan toleran yang lahir dari jiwa besar. Jiwa
besar dalam ber-Islam, berkebangsaan, dan ber-kerakyatan coba kami
galakkan semata-mata meneruskan semangat cinta santri dan kiai pada
republik ini.
Apa yang dilakukan kalangan
santri hanya ingin menyampaikan bahwa kita sebagai pemuda berbangsa dan
bertanah air tak ingin jahitan merah putih terkoyak oleh oknum yang
ingin merubah haluan Indonesia. Keutuhan dan perdamaian di bumi pertiwi
menjadi ghoyah (tujuan). NKRI harga mati.
http://www.nu.or.id/post/read/97637/santri-dan-rajutan-merah-putih
Posting Komentar untuk "Santri dan Rajutan Merah Putih"