umi laila sari |
“Banyak baca, banyak
tahu. Banyak ilmu, makin maju.” Tagline yang kerap kali muncul di layar
TVRI pada tahun 90-an. Sebagian besar masyarakat memiliki persepsi bahwa
membaca adalah tugas sekolah. Jika tidak diberi tugas maka siswa tidak
harus membaca. Dan jika telah lulus sekolah tidak ada kewajiban membaca.
Aktifitas membaca hanya menghabiskan waktu yang bisa digunakan untuk
kegiatan lain. Seolah membaca tidak ada manfaat selain menyelesaikan
tugas-tugas sekolah.
Padahal, membaca punya begitu banyak
manfaat. Manfaat membaca selain secara intelektual, juga dari sisi
sosial, kejiwaan bahkan segi ekonomi. Membaca adalah bagian dari mencari
ilmu. Tradisi para ilmuwan. Lihatlah biografi orang-orang besar dengan
karyanya bagi peradaban dunia. Mereka adalah orang-orang yang memiliki
interaksi tinggi dengan buku. Buku yang dibaca adalah buku lintas
disiplin ilmu, buku lintas pengarang hingga buku lintas bahasa.
Indonesia punya Soekarno-Hatta. Bukan
saja Proklamator Republik Indonesia, mereka adalah predator buku yang
patut ditiru. Misal, Soekarno yang 70 persen barang pribadi miliknya
adalah buku. Sedangkan Hatta, dirinya bahkan membawa serta koleksi
bukunya yang berlemari-lemari saat dibuang ke pengasingan oleh penjajah.
Maka, tak heran jika keduanya mampu melahirkan karya dan pemikiran
melegenda.
Seseorang yang ingin mengakses ilmu
pengetahuan maka buku adalah jawabannya. Sayangnya, sistem pendidikan
nasional belum bisa dikatakan berhasil menjadikan aktifitas membaca
sebagai kebiasaan harian siswa. Meskipun sudah ada upaya peningkatan
minat baca. Sebagai contoh, diterbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi
Pekerti. Salah satu perwujudan Permendikbud tersebut adalah wajib
membaca 15 menit sebelum waktu pembelajaran dimulai, khususnya bagi
siswa SD, SMP atau SMA.
Minat baca tidak tumbuh dengan
sendirinya, perlu stimulus dari lingkungan seperti keluarga dan sekolah.
Minat baca berarti adanya keinginan yang kuat dari seseorang untuk
menekuni aktifias membaca, didukung kemampuan memahami bahan bacaannya.
Jika di sekolah terbantu dengan beragam tugas dari guru serta adanya
peraturan sekolah, bagaimana dengan di lingkup keluarga. Keluarga punya
peran strategis menumbuhkan minat baca. Anak yang berasal dari keluarga
dengan tradisi membaca akan lebih mudah mengikuti proses belajar di
sekolah. Sebab, semakin banyak membaca, akan semakin banyak
perbendaharaan kata serta semakin tinggi tingkat kemampuan menganalisa
sebuah permasalahan.
Di antara faktor penyebab malasnya
membaca buku adalah ‘kesalahan masa lalu’. Siswa SD bahkan kini sejak
PAUD sudah diwajibkan bisa membaca namun lalai terhadap pemahaman
bacaan. Anak-anak mampu menghafal berlembar-lembar buku terlebih guna
persiapan ujian sekolah. Tetapi punya kesulitan manakala menganalisa
atau mengembangkan gagasan berdasarkan bacaannya.
Pengalaman buruk
terhadap aktifitas membaca membuat seseorang merasa terbebas dari
kewajiban membaca ketika lulus sekolah. Pemulihan kondisi ini perlu
terapi untuk menjadikan aktifitas membaca menjadi menyenangkan.
Selanjutnya punya minat tinggi untuk kontinyu dalam membaca. Dan terapi
tersebut bisa diawali dari lingkup terkecil keluarga.
Kepedulian keluarga dimulai dari orang
tua dalam memberikan teladan kebiasaan membaca. Didukung dengan
memberikan buku yang sesuai dengan usia anak. Dapat pula membuat acara
kumpul keluarga dengan tema buku semisal jalan-jalan bersama ke
perpustakaan. Jadilah aktifitas membaca sebagai alternatif hiburan dan
hobi bermanfaat.
Ada beragam buku yang memiliki konten menghibur seperti
komik, fiksi, atau essay human interest. Menurut penelitian yang
dilakukan pada sukarelawan Mildlab Internasional di University of
Sussex, Brighton, Inggris bahwa membaca mengurangi stres hingga 68
persen sebagaimana diungkapkan oleh Dr. David Lewis, kognitif
neuropsikolog. Sangat efektif dibanding bermain video games yang hanya
menurunkan 21 persen tingkat stres.
Cukup banyak komunitas literasi yang
punya aktifitas seputar perbukuan seperti bedah buku, resensi buku,
bincang buku hingga arisan buku. Kegiatanpun dikonsep secara kreatif
hingga tidak ada kesan ‘jadul’ bagi penggemar buku.
Pemerintah sejak tahun 1995 telah
mencanangkan gerakan bulan gemar membaca yang bersamaan dengan
ditetapkannya tanggal 14 September sebagai hari gemar membaca dan
kunjung perpustakaan. Diharapkan dengan gerakan ini dapat memaksimalkan
perpustakaan sebagai salah satu institusi penyedia fasilitas buku.
Secara swadaya, masyarakat turut berperan aktif dengan mendirikan taman
bacaan masyarakat atau sudut baca yang menjangkau daerah-daerah yang
sulit untuk mengunjungi perpustakaan kota.
Ketika aktifitas membaca telah menjadi
kebiasaan harian dan mentradisi tentu saja bangsa Indonesia bisa
membantah hasil penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State
University dan dilansir The World Most Literate Nations (WMLN) pada
beberapa bulan lalu. Hasil penelitian tersebut menempatkan Indonesia
diposisi 60 dari 61 negara tingkat literasi.***
Umi Laila Sari adalah Pengelola Rumah Baca Al-Ghazi
(sumber: https://www.detiksumsel.com).
Posting Komentar untuk "Agar Membaca Tak hanya Tugas Sekolah"