Fuad Nasar |
Di
Indonesia, negara mengambil peran yang moderat (jalan tengah) antara
pengelolaan zakat oleh negara dan pengelolaan zakat yang sepenuhnya
diserahkan kepada masyarakat. Negara tidak melepaskan begitu saja zakat
menjadi urusan pribadi setiap warga negara. Tapi juga tidak melakukan
monopoli pengelolaannya. Poin penting inilah yang disampaikan oleh
Sekretaris Ditjen Bimas Islam, Muhammad Fuad Nasar dalam Obrolan Seputar
Soal Islam (Obsesi) dengan tema Lembaga Amil Zakat dan Penghimpunan
Dana Umat.
Wujud moderasi negara dalam pengelolaan zakat, sambung Fuad, dicerminkan dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah serta peraturan menteri agama mengenai perzakatan. Pihaknya menyebutkan Undang Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaannya. Pengelolaan zakat yang meliputi pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan, tambah Fuad, harus memperhatikan tiga aspek dalam pertanggungjawaban. Pelaksanaan tiga aspek ini menjadi panduan demi terselenggaranya pengelolaan zakat yang profesional, akuntabel, dan amanah.
“Pertama tentang pertanggungjawaban secara regulasi. Meliputi kewajiban dalam proses perizinan, pemberian mandatori kepada badan hukum, kewajiban pelaporan dan sebagainya. Undang-Undang Pengelolaan Zakat pasal 18 menjelaskan hal ini secera terperinci, misalnya tentang persyaratan berupa badan hukum, organisasi, yayasan, ormas untuk mengajukan pembentukan LAZ. Hal ini sudah dipagari sejak dari hulu dan berlaku untuk LAZ tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” tambah Fuad.
Aspek kedua yang harus diperhatikan oleh LAZ, lanjut Fuad, adalah hal teknis terkait aturan fiqih. Fuad menyebutkan adanya 10 fatwa MUI tentang zakat yang dikeluarkan sejak tahun 80-an.
Baca Juga: Zakat Berperan Mengurangi Kemiskinan dan Kesenjangan Ekonomi
“Pengelola zakat wajib mematuhi kaidah-kaidah syariah. Lebih tegas
lagi, dalam regulasi ada persyaratan bahwa setiap LAZ punya dewan
pengawas syariah sebagai satuan tugas untuk mengawal LAZ agar sesuai
kepatuhan syariah, agar terhindar dari peniyimpangan yang berakibat pada
runtuhnya kepercayaan masyarakat dan tidak tercapainya manfaat zakat
pada umat,” terangnya.
Hal ketiga yang menjadi kewajiban bagi pengelola zakat, lanjut Fuad,
adalah aspek tata kelola keuangan. Laporan yang disampaikan oleh
pengelola zakat harus diaudit secara profesional.
“Pertanggungjawaban dari sisi tata kelola dan keuangan. Sudah ada
ketentuan bahwa setiap LAZ wajib melakukan audit keuangan oleh kantor
akuntan publik ketika menyampaikan laporan kepada Baznas atau disebut
dengan laporan auditif. Ada yang disebut Pernyataan Standar Akuntansi
untuk pengelolaan zakat dan sedekah no 109 yang dikeluarkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia yang menjadi rambu-rambu dalam penyajian pencatatan
laporan keuangan yang menjadi acuan LAZ,” tambahnya. Juga ada dokumen
Zakat Core Principle (ZCP) yang disusun bersama Departemen Ekonomi dan
Keuangan Syariah (DEKS) Bank Indonesia.
Instrumen-instrumen inilah yang disebut Fuad sebagai syarat
profesionalisme dalam pengeloaan zakat sehingga mudah ditemukan
kejanggalan ketika terjadi penyelewangan oleh pihak yang tidak
bertanggungjawab. Kementerian Agama telah pula menghasilkan dokumen
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk Amil Zakat.
“Semua aturan apabila dijalankan akan menjaga pertanggungjawaban yang
terukur sehingga ketika ada penyimpangan sekecil apa pun bisa
terdeteksi,” pungkas Fuad.
Dalam Dialog Virtual yang dipandu moderator Thobib Al Asyhar itu juga
menghadirkan narasumber Wakil Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Zainulbahar Noor. (kmg|ulul). #https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/moderasi-negara-dalam-pengelolaan--zakat
Posting Komentar untuk "Bimas Islam: Negara Hanya Ambil Peran Dalam Pengelolaan Zakat Bukan Monopoli"