Dalam Pendidikan dan Latihan (Diklat) Assosiasi Bina Haji dan Umrah NU
(Asbihu-NU) ditekankan adanya amaliyah Ahlussunnah wal Jamaah yang harus
dipertahankan dalam kaitan perhajian. Misalnya, sebelum melakukan perjalanan
haji meminta izin kepada tetangga serta menitipkan keluarga kepada para
tetangga.
Juga, berhaji bukan hanya melaksanakan ibadah haji dan umrah saja. dalam kaitan Aswaja, seseorang yang akan menunaikan haji atau umrah sudah harus bener melaksanakan rukun Islam lainnya.
Fikih yang Berubah?
Hanya, menurut Masyhuri Naim, tidak perlu menganggap sulit haji. Sebab,
haji itu adalah ibadah badan. "Kalau perlu tak perlu doa-doa itu,"
katanya, yang sedikit kontrofersial dengan pendapat peserta. Kedua, haji tak
perlu harus suci selain untuk tawaf. Ketiga, jika ada ibadah terdiri dari
beragam ibadah lainnya seperti haji maka diperlukan satu niat saja. Ada tawaf,
sai dan lain sebagainya dalam haji tak perlu niat baru.
Haji yang simpel ini perlu difahamkan kepada seluruh jemaah haji dan
bukan harus menuntut jemaah haji dengan berbagai kewajiban yang tidak
perlu," kata Masyhuri. (artikel ini pernah di uat di tabloid labbai thn 2012|mh|alfa).
Juga, berhaji bukan hanya melaksanakan ibadah haji dan umrah saja. dalam kaitan Aswaja, seseorang yang akan menunaikan haji atau umrah sudah harus bener melaksanakan rukun Islam lainnya.
KH Nuril Huda, salah seorang pendiri Asbihu-NU.
Mantan Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) itu berkali-kali menekankan
pentingnya menjaga tradisi Aswaja. Selama di Mekah yang lama jangan dihabiskan
untuk belanja saja. Cobalah dimanfaatkan untuk memahami sejarah islam dengan
menyaksikan peninggalan Islam yang ada. Ini, katanya, akan memperkuat iman
kita.
Dalam bahasa KH. Hafiz Taftazani, salah seorang pendiri Asbihu-NU, berdirinya Asbihu-NU dengan mempertahankan amaliyah haji versi
Aswaja merupakan Resolusi Hijaz kedua. Resolusi Hijaz pertama adalah resolusi
yang dilakukan sejumah ulama yang diwakili Syaikh Ahmad Ghanaim Al-Misri dan
KHA Wahab Hasbulah pada tahun 1926 yang meminta kepada Raja Abdul Aziz untuk
tidak merobohkan dan menghancurkan peninggala sejarah Islam terutama makam
Rasulullah SAW yang berada di Masjid Nabawi.
Raja Abdul Aziz menerima dengan baik usulan itu dan berjanji untuk tetap
menjaganya. Maka, ketika usulan perluasan Masjid Nabawi yang mengarah ke
selatan akan dilakukan, Raja Abdullah anak Raja Abdul Aziz tak setuju karena
akan mengubah posisi mihrab dan makam Rasulullah. Raja Abdullah akhirnya meminta
pengubahan arsitektur Masjid Nabawi yang peluasannya mengarah ke utara. Dengan
demikian makam Rasulullah tidak terusik, tetap di ujung tenggara Masjid Nabawi
dan posisi mihrab seperti sedia kala.
Faham Aswaja atau Islam Nusantara selama ini banyak terwakili dalam manasik
haji yang dibuat Kementerian Agama. Doa-doa, misalnya, banyak mengacu kepada
Imam Ghazali dalam Asrarul Hajj bagian dari Ihya Ulumiddin. Namun, memang ada
beberapa bagian yang tidak sejalan dengan semangat Aswaja.
Misalnya, soal shalat di pesawat dengan bertayammum dengan sandaran kursi di
depannya. Menurut kalangan ulama Aswaja, tidak mugkin dalam sandaran kursi bisa
didapat partikel debu sehingga bisa dimanfaatkan untuk bertayammum. Kalangan
ulama Aswaja meminta agar dimasukkan cara shalat alternatif, yaitu salat
lihurmatil waqti, shalat untuk menghormati waktu yang dilaksanakan pada saat
masuk waktu tanpa harus bersuci (faqiduth thahurain). Namun, jika
kemudian ia mendapatkan air atau debu yang memadai, maka diharuskan iadah
(mengulang).
Kemudian, soal miqat makani dari Jeddah harus mendapat penjelasan ulang. Bahwa miqat Makani Jeddah sudah dilakukan sjeumlah ulama
Indonesia, bahkan sudah diputuskan dalam fatwa MUI sebanyak dua kali. Namun,
kalangan ulama NU melihat ada fatwa dari Munas Ulama NU di Kaliurang
Yogyakarta tahun 1981 yang menganggap perpindahan bandara ke lokasi yang
sekarang ini tidak lagi bisa menjadikan Jeddah sebagai miqat makani karena
jaraknya yang tak memnuhi syarat. Fatwa itu belum dicabut sehingga menimbukan
tanda tanya di kalangan Nahdliyyin. Satu pihak menginginkan tiba di Jeddah
kemudikan menuju Yulamlam (Yalamlam) atau memulai niat sejak di pesawat,
sekitar 15 menit sebelum tiba di Jeddah. Menurut Dr. KH Masyhuri Naim, MA,
tidak ada ketentuan miqat dari Jeddah itu.
Mina Jadid sebagai mabit haji juga dipertanyakan karena sudah jauh di luar
Mina. Karena ulama Aswaja masih suka mencari afdlaliyyat (keutamaan ibadah)
sehingga harus memaksakan ke lokasi jamarat pada sebagian besar malam
(ma'dzamul layl). Manasiki Kementerian Agama mengutip pendapat Syaikh Saleh
Utsaimin dan Abdul Aziz bin Baz, dua ulama Arab Saudi yang nenyatakan boleh
asal masih menyambung bangunannya dengan Mina. Sayyid Hamid Al-Kaf, ulama
Indonesia di Mekah yang selalu menjadi konsultan manasik haji juga menyatakan
yang sama, sepanjang masih nyambung tendanya dengan yang ada di Mina.
Hal ini mengingatkan pada perdebatan lama, sekitar tahun 1990, ketika
Departemen Agama harus mengundang KH. Misbah Mustofa (adik KH Bisri Mustofa
atau paman KH. Mustofa Bisri/Gus Mus) yang menyatakan boleh dengan pedoman
kaidah fikih: idla dlaqal amru uttusi'a (jika sesuatu sudah mentok maka boleh
diperluas). Hal ini juga berlaku bagi Mina yang tak mungkin bisa diperluas
lagi karena diapit dua bukit batu.
Sementara bagaimana jika seorang wanita mengalami haid dan tidak bisa
melaksanakan tawaf ifadlah? Berdasarkan fatwa MUI 2012, tawaf Ifadlah tidak
bisa diwakilkan dan digantikan dan ia berlaku seumur hidup yang harus tetap
menjadi tanggungan kewajiban jemaah. Hal ini dibenarkan Masyhuri Naim.
Dalam manasik Kementerian Agama seperti yang dipaparkan Ahmad Kartono, ia
mengutip pendapat dalam Al-Majmu' karya Imam Syarafuddin An-Nawawi. "Ibnu
Munzir berkata, para ulama sepakat boleh membantu anak kecil untuk melakukan
tawaf sendiri dan sah tawafnya. Mereka juga sepakat boleh melakukan tawaf untuk
orang yang sakit dan sah (yujzi-uhu). Kecuali pendapat Atha' bin Rabah
yang menyatakan ada dua pendapat: pertama, seperti pendapat di atas dan kedua,
menyewa orang (dengan membayar) untuk melaksanakan tawafnya."
Tapi, KH. Masyhuri Naim tidak membenarkan pengganti untuk tawaf Ifadlah
ini. Masyhuri yang juga anggota Komisi Fatwa MUI memilih agar wanita yang
berhalangan tak bisa tawaf Ifadlah untuk menunggu selesai masa haidnya dengan
menghubungi kantor haji setempat. Menurut KH. Hafiz Taftazani, haji itu adalah
jihad yang tak mujngkin dubadalkan semua. kalau bisa dibadalkan, mana makna
jihadnya," katanya.
Masyhuri Naim juga tidak spendapat dengan
pendapat Ibnu Taymiyah yang membolehkan wanita haid melaksanakan tawaf. Menurut
Ibnu Taymiyah, larangan hadis tawaf itu karena larangan masuk masjid. Bukan
haidnya.
Menurut Kartono, wanita yang hadis dan dituntut segera malaksanakan tawaf
Ifadlah maka ia harus segera membersihkan diri, membalutnya dan kemudian
melakukan tawaf meskipun kemudian darah masih keluar lagi. "Menurut Ibnu
Qayim dan Ibnu Taymiyah, wanita itu tidak dikenakan dam. Hanya mazhab Hanafi
yang mengharuskan dam satu ekor unta atau 7 ekor kambing. Tapi, dalam riwayat
lain cukup satu ekor kambing," kata Kartono. Dalam istilah umumnya,
"Keseluruhan ibadah haji saja bisa dibadalkan, masak hanya tawaf saja tak
bisa dibadalkan."
Perlu Penjelasan
Dari sini sebenarnya perlu ada klarifikasi sehingga tak membingungkan
jemaah yang bisa dijadikan acuan tunggal. Memang, harus diakui sulitnya
menyatukan pendapat. Di kalangan ulama Nahdliyin sendiri juga terjadi perbedaan
pendapat, apalagi dengan kelompok di luar mereka.
Posting Komentar untuk "MANASIK HAJI ALA ASWAJA NU"