MANASIK HAJI ALA ASWAJA NU

Dalam Pendidikan dan Latihan (Diklat) Assosiasi Bina Haji dan Umrah NU (Asbihu-NU) ditekankan adanya amaliyah Ahlussunnah wal Jamaah yang harus dipertahankan dalam kaitan perhajian. Misalnya, sebelum melakukan perjalanan haji meminta izin kepada tetangga serta menitipkan keluarga kepada para tetangga.

Juga, berhaji bukan hanya melaksanakan ibadah haji dan umrah saja. dalam kaitan Aswaja, seseorang yang akan menunaikan haji atau umrah sudah harus bener melaksanakan rukun Islam lainnya.
KH Nuril Huda, salah seorang pendiri Asbihu-NU. Mantan Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) itu berkali-kali menekankan pentingnya menjaga tradisi Aswaja. Selama di Mekah yang lama jangan dihabiskan untuk belanja saja. Cobalah dimanfaatkan untuk memahami sejarah islam dengan menyaksikan peninggalan Islam yang ada. Ini, katanya, akan memperkuat iman kita.
Dalam bahasa KH. Hafiz Taftazani, salah seorang pendiri  Asbihu-NU, berdirinya Asbihu-NU dengan mempertahankan amaliyah haji versi Aswaja merupakan Resolusi Hijaz kedua. Resolusi Hijaz pertama adalah resolusi yang dilakukan sejumah ulama yang diwakili Syaikh Ahmad Ghanaim Al-Misri dan KHA Wahab Hasbulah pada tahun 1926 yang meminta kepada Raja Abdul Aziz untuk tidak merobohkan dan menghancurkan peninggala sejarah Islam terutama makam Rasulullah SAW yang berada di Masjid Nabawi.
Raja Abdul Aziz menerima dengan baik usulan itu dan berjanji untuk tetap menjaganya. Maka, ketika usulan perluasan Masjid Nabawi yang mengarah ke selatan akan dilakukan, Raja Abdullah anak Raja Abdul Aziz tak setuju karena akan mengubah posisi mihrab dan makam Rasulullah. Raja Abdullah akhirnya meminta pengubahan arsitektur Masjid Nabawi yang peluasannya mengarah ke utara. Dengan demikian makam Rasulullah tidak terusik, tetap di ujung tenggara Masjid Nabawi dan posisi mihrab seperti sedia kala.
Fikih yang Berubah?
Faham Aswaja atau Islam Nusantara selama ini banyak terwakili dalam manasik haji yang dibuat Kementerian Agama. Doa-doa, misalnya, banyak mengacu kepada Imam Ghazali dalam Asrarul Hajj bagian dari Ihya Ulumiddin. Namun, memang ada beberapa bagian yang tidak sejalan dengan semangat Aswaja.
Misalnya, soal shalat di pesawat dengan bertayammum dengan sandaran kursi di depannya. Menurut kalangan ulama Aswaja, tidak mugkin dalam sandaran kursi bisa didapat partikel debu sehingga bisa dimanfaatkan untuk bertayammum. Kalangan ulama Aswaja meminta agar dimasukkan cara shalat alternatif, yaitu salat lihurmatil waqti, shalat untuk menghormati waktu yang dilaksanakan pada saat masuk waktu tanpa harus bersuci (faqiduth thahurain). Namun, jika kemudian ia mendapatkan air atau debu yang memadai, maka diharuskan iadah (mengulang).
Kemudian, soal miqat makani dari Jeddah harus mendapat penjelasan ulang. Bahwa miqat Makani Jeddah sudah dilakukan sjeumlah ulama Indonesia, bahkan sudah diputuskan dalam fatwa MUI sebanyak dua kali. Namun, kalangan ulama NU melihat ada fatwa dari Munas Ulama NU di Kaliurang Yogyakarta tahun 1981 yang menganggap perpindahan bandara ke lokasi yang sekarang ini tidak lagi bisa menjadikan Jeddah sebagai miqat makani karena jaraknya yang tak memnuhi syarat. Fatwa itu belum dicabut sehingga menimbukan tanda tanya di kalangan Nahdliyyin. Satu pihak menginginkan tiba di Jeddah kemudikan menuju Yulamlam (Yalamlam) atau memulai niat sejak di pesawat, sekitar 15 menit sebelum tiba di Jeddah. Menurut Dr. KH Masyhuri Naim, MA, tidak ada ketentuan miqat dari Jeddah itu.
Mina Jadid sebagai mabit haji juga dipertanyakan karena sudah jauh di luar Mina. Karena ulama Aswaja masih suka mencari afdlaliyyat (keutamaan ibadah) sehingga harus memaksakan ke lokasi jamarat pada sebagian besar malam (ma'dzamul layl). Manasiki Kementerian Agama mengutip pendapat Syaikh Saleh Utsaimin dan Abdul Aziz bin Baz, dua ulama Arab Saudi yang nenyatakan boleh asal masih menyambung bangunannya dengan Mina. Sayyid Hamid Al-Kaf, ulama Indonesia di Mekah yang selalu menjadi konsultan manasik haji juga menyatakan yang sama, sepanjang masih nyambung tendanya dengan yang ada di Mina.
Hal ini mengingatkan pada perdebatan lama, sekitar tahun 1990, ketika Departemen Agama harus mengundang KH. Misbah Mustofa (adik KH Bisri Mustofa atau paman KH. Mustofa Bisri/Gus Mus) yang menyatakan boleh dengan pedoman kaidah fikih: idla dlaqal amru uttusi'a (jika sesuatu sudah mentok maka boleh diperluas). Hal ini juga berlaku bagi Mina yang tak mungkin bisa diperluas lagi karena diapit dua bukit batu.
Sementara bagaimana jika seorang wanita mengalami haid dan tidak bisa melaksanakan tawaf ifadlah? Berdasarkan fatwa MUI 2012, tawaf Ifadlah tidak bisa diwakilkan dan digantikan dan ia berlaku seumur hidup yang harus tetap menjadi tanggungan kewajiban jemaah. Hal ini dibenarkan Masyhuri Naim.
Dalam manasik Kementerian Agama seperti yang dipaparkan Ahmad Kartono, ia mengutip pendapat dalam Al-Majmu' karya Imam Syarafuddin An-Nawawi. "Ibnu Munzir berkata, para ulama sepakat boleh membantu anak kecil untuk melakukan tawaf sendiri dan sah tawafnya. Mereka juga sepakat boleh melakukan tawaf untuk orang yang sakit dan sah (yujzi-uhu). Kecuali pendapat Atha' bin Rabah yang menyatakan ada dua pendapat: pertama, seperti pendapat di atas dan kedua, menyewa orang (dengan membayar) untuk melaksanakan tawafnya."
Tapi, KH. Masyhuri Naim tidak membenarkan pengganti untuk tawaf Ifadlah ini. Masyhuri yang juga anggota Komisi Fatwa MUI memilih agar wanita yang berhalangan tak bisa tawaf Ifadlah untuk menunggu selesai masa haidnya dengan menghubungi kantor haji setempat. Menurut KH. Hafiz Taftazani, haji itu adalah jihad yang tak mujngkin dubadalkan semua. kalau bisa dibadalkan, mana makna jihadnya," katanya. 
Masyhuri Naim juga tidak spendapat dengan pendapat Ibnu Taymiyah yang membolehkan wanita haid melaksanakan tawaf. Menurut Ibnu Taymiyah, larangan hadis tawaf itu karena larangan masuk masjid. Bukan haidnya.
Menurut Kartono, wanita yang hadis dan dituntut segera malaksanakan tawaf Ifadlah maka ia harus segera membersihkan diri, membalutnya dan kemudian melakukan tawaf meskipun kemudian darah masih keluar lagi. "Menurut Ibnu Qayim dan Ibnu Taymiyah, wanita itu tidak dikenakan dam. Hanya mazhab Hanafi yang mengharuskan dam satu ekor unta atau 7 ekor kambing. Tapi, dalam riwayat lain cukup satu ekor kambing," kata Kartono. Dalam istilah umumnya, "Keseluruhan ibadah haji saja bisa dibadalkan, masak hanya tawaf saja tak bisa dibadalkan."
Perlu Penjelasan
Dari sini sebenarnya perlu ada klarifikasi sehingga tak membingungkan jemaah yang bisa dijadikan acuan tunggal. Memang, harus diakui sulitnya menyatukan pendapat. Di kalangan ulama Nahdliyin sendiri juga terjadi perbedaan pendapat, apalagi dengan kelompok di luar mereka.
Hanya, menurut Masyhuri Naim, tidak perlu menganggap sulit haji. Sebab, haji itu adalah ibadah badan. "Kalau perlu tak perlu doa-doa itu," katanya, yang sedikit kontrofersial dengan pendapat peserta. Kedua, haji tak perlu harus suci selain untuk tawaf. Ketiga, jika ada ibadah terdiri dari beragam ibadah lainnya seperti haji maka diperlukan satu niat saja. Ada tawaf, sai dan lain sebagainya dalam haji tak perlu niat baru.
Haji yang simpel ini perlu difahamkan kepada seluruh jemaah haji dan bukan harus menuntut jemaah haji dengan berbagai kewajiban yang tidak perlu," kata Masyhuri. (artikel ini pernah di uat di tabloid labbai thn 2012|mh|alfa).

Posting Komentar untuk "MANASIK HAJI ALA ASWAJA NU"