Haji yang mabrur seyogyanya harus bisa mempertahankan ibadah seperti apa yang telah ditunaikan saat berada di tanah suci. Gemar melakukan shalat berjamaah di masjid salah satunya. Apakah setelah sampai di Indonesia, di kampung halaman, kebiasaan shalat berjamaah di masjid tetap menjadi rutinitas sehari-hari. Ini menjadi salah satu indikator kemabruran haji.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah
surga.”
Adapun di dunia, banyak maslahat
yang bisa diperoleh umat Islam. Dan
untuk ibadah haji khususnya, ada beberapa contoh yang bisa kita sebut; seperti
menambah teman, bertemu dengan ulama dan keuntungan berdagang.
Di samping itu, Allah juga
memberikan tanda-tanda diterimanya amal seseorang, sehingga ia bisa
menyegerakan kebahagiaan di dunia sebelum akhirat dan agar ia semakin
bersemangat untuk beramal.
Tidak
Semua Orang Meraih Haji Mabrur
Setiap orang yang pergi berhaji
mencita-citakan haji yang mabrur. Haji mabrur bukanlah sekedar haji yang sah
.
Mabrur berarti diterima oeh Allah,
dan sah berarti menggugurkan kewajiban.Bisa jadi haji seseorang sah sehingga
kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Ta’ala
.
Jadi, tidak semua yang hajinya sah
terhitung sebagai haji mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali
mengatakan, “Yang hajinya mabrur
sedikit, tapi mungkin Allah memberikan karunia
kepada jamaah haji yang tidak baik
lantaran jamaah haji yang baik.”
Tanda-Tanda
Haji Mabrur
Bagaimana mengetahui mabrurnya
haji seseorang? Apa perbedaan antar haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur?
Tentunya yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Kita
tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak.
Para ulama menyebutkan ada tanda-tanda
mabrurnya haji diantaranya adalah:
Pertama: Harta yang dipakai untuk
haji adalah harta yang halal,karena Allah tidakmenerima kecuali yang halal,
sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali
yang baik."
Orang yang ingin hajinya mabrur
harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang
halal, terutama mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji
tidak lepas dari transaksi dengan bank.
Ibnu Rajab mengucapkan sebuah syair:
Jika anda haji dengan harta tak
halal asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang
berhaji hanya rombongan anda.
Allah tidak terima kecuali yang
halal saja.
Tidak semua yang haji mabrur
hajinya.
Kedua; Amalan-amalannya dilakukan dengan ikhlas dan
baik, sesuai dengan tuntunan
Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam.Paling tidak, rukun-rukun dan
kewajibannya harus dijalankan, dan semua larangan harus ditinggalkan. Jika
terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusnya yang telah
ditentukan.
Di samping itu, haji yang mabrur
juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin
sulit dijaga.
Mari renungkan perkataan Syuraih al-Qadhi, “Yang (benar-benar)
berhaji sedikit, meski jamaah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik,
tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah.”
Pada zaman dahulu ada orang yang
menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur
di atas kasurnya, dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia
merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu.
Ia
teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa
merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah
yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri,
memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia
pun menyadari bahwa dirinya telah salah
.
Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan
banyak amalan baik,seperti dzikir, shalat di Masjidil
Haram, shalat pada waktunya, dan
membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab berkata, “Maka haji
mabrur adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan
dosa.
Di antara amalan khusus yang
disyariatkan untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik
selama haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampernah ditanya tentang maksud haji
mabrur, maka beliau menjawab,
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ
“Memberi makan dan berkata-kata baik.”
Keempat: Tidak berbuat maksiat
selama ihram.
Maksiatdilarang dalam agama kita
dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan
tersebut menjad i lebih tegas, dan jika
dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan akan lepas. Di antara yang dilarang
selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal. Allah berfirman
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“Haji adalah beberapa bulan yang
diketahui, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama
mengerjakan haji.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats
dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.”
Rafats adalah semua bentuk kekejian
dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau
membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.
Fusuq adalah keluar dari ketaatan
kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah
fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas. Jidal adalah berbantah-bantahan
secara berlebihan. Ketiga hal ini dilarang selama
ihram.
Adapun di luar waktu ihram, bersenggama dengam pasangan kembali
diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, orang yang ingin
hajinya mabrur harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah
haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiat.
Kelima: Setelah haji menjadi lebih
baik
Salah satu tanda diterimanya amal
seseorang di sisi Allah adalah diberikan taufik untukmelakukan kebaikan lagi setelah
amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan
buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya.
Ibadah haji
adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jamaah haji disibukkan
oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Untuk sementara, mereka
terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu,
mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu agama dari para ulama
tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama.
Logikanya, setiap orang yang
menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih
baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu
berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh haji pada dirinya.
Bertaubat setelah haji, berubah
menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang
lebih mantap dan benar, kemudian istiqamah di atas kebaikan itu adalah salah
satu tanda haji mabrur.
Orang yang hajinya mabrur menjadikan
ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai
ridho Allah Ta’ala. Ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia.
Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Haji
mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai
akhirat.”Ia juga mengatakan, “Tandanya adalah
meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.”
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan,
“tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu
dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan
mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.”(azka).
Sumber: https://www.brnews.id/2016/10/inilah-tanda-tanda-haji-mabrur.html
Posting Komentar untuk "Tanda Haji Mabrur"