Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan peringatan Hari Pendidikan
Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, harus menjadi momentum
untuk membangun komitmen kebersamaan dalam mewujudkan cita-cita
'mencerdaskan kehidupan bangsa'. Sebagaimana diamanatkan Konstitusi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Bambang Soesatyo |
"Pemaknaan
Kampus Merdeka yang digagas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset
dan Teknologi, menegaskan bahwa proses pembelajaran di perguruan tinggi
harus terbebas dari segala bentuk keterbatasan akses. Pendidikan tinggi
tidak seharusnya menjadi barang mewah yang hanya dinikmati sebagian
kecil masyarakat. Karena hak mendapatkan pendidikan adalah hak setiap
warga negara yang dijamin UUD NRI 1945," ujar Bamsoet dalam Webinar Hari
Pendidikan Nasional yang diselenggarakan Universitas Terbuka (UT),
secara virtual dari Jakarta, Senin (3/5/2021).
Turut
hadir antara lain Rektor Universitas Terbuka Prof. Ojat Darojat, Wakil
Rektor IV Universitas Terbuka Rahmat Budiman, Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
Teknologi Prof. Ir. Nizam, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Abetnego
Panca Putra Tarigan, dan Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Ezar Gaghana.
Ketua
DPR RI ke-20 ini menjelaskan, konsep 'merdeka belajar' sesungguhnya
telah diamanatkan Konstitusi, menegaskan bahwa setiap warga negara
berhak mendapatkan dan memilih pendidikan. Terlihat pada beberapa Pasal
dalam UUD NRI 1945, di antaranya Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28 E ayat
(1), dan Pasal 31 ayat (1). Hak mendapatkan pendidikan tidak saja
dijamin oleh konstitusi, tetapi juga diakui sebagai bagian dari hak
asasi yang melekat pada fitrah kemanusiaan sebagai warga negara.
Sayangnya,
tegas Bamsoet, data Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
mencatat terdapat sekitar 3,7 juta lulusan pendidikan tingkat menengah
setiap tahun. Sekitar 1,8 juta diantaranya atau sekitar 48,6 persen
terpaksa bekerja dan tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang
perguruan tinggi.
Aksesibilitas untuk melanjutkan pendidikan di
perguruan tinggi juga terhambat oleh keterbatasan kapasitas kampus untuk
menampung seluruh siswa lulusan pendidikan menengah atas tersebut.
Apalagi di daerah luar pulau Jawa dan di daerah pinggiran, di mana
jumlah kampus masih sangat terbatas," jelas Bamsoet dalam keterangan tertulisnya.
Wakil
Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, kemajuan teknologi dan
perkembangan zaman menjadikan pendidikan di kampus tidak seharusnya
'terpenjara' oleh hambatan sekat ruang dan waktu. Sehingga dapat
dilakukan di mana saja dan kapan saja. Karenanya, patut diapresiasi
keberadaan Universitas Terbuka yang telah menjangkau seluruh wilayah
Indonesia, dengan jumlah mahasiswa aktif lebih dari 312 ribu, dan telah
melahirkan 1,8 juta alumni.
"Sebagai
lembaga pendidikan tinggi terbuka dan jarak jauh pertama di Indonesia,
UT secara konsisten memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat dari
segala lapisan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Bahkan hingga
warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, dimana UT telah
menjalin kerjasama dengan KBRI di 42 negara," terang Bamsoet.
Bamsoet
menuturkan, kiprah UT dalam mendukung implementasi 'merdeka belajar'
juga telah dimanifestasikan melalui kerjasama dengan 14 perguruan tinggi
negeri dan swasta, di mana mahasiswanya dapat mengambil mata kuliah
online di UT. Semakin banyak perguruan tinggi mau 'membuka diri' dengan
menjadikan UT sebagai barometer dan rujukan dalam pengembangan
pendidikan jarak jauh di masing-masing kampus, akan semakin banyak
masyarakat yang mendapatkan manfaat nyata dari gagasan 'merdeka
belajar'.
"Di sisi lain,
memaknai kemerdekaan belajar haruslah berbanding lurus dengan upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan dari proses
pembelajaran. Untuk mengukurnya, dapat kita rujuk dari nilai indeks
pembangunan manusia (IPM)," tutur Bamsoet.
Disebutkan, berdasarkan laporan
UNDP (United Nation Development Programme), IPM Indonesia tahun 2020
berada di urutan 107 dari 189 negara. Bahkan di kawasan Asia Tenggara
saja, Indonesia masih kalah dari Singapura (rangking 11), Brunei
Darussalam (ranking 47), Malaysia (ranking 62), dan Thailand (rangking
79).
"Sebagai gambaran
pembanding, survei kemampuan pelajar yang dirilis Programme for
International Student Assessment (PISA), pada bulan Desember 2019
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-72 dari 77 negara. Masih
tertinggal jauh dari Singapura di urutan ke-2 atau Malaysia di urutan
ke-56," papar Bamsoet.
Ketua
Umum Pengurus Besar Keluarga Olahraga Tarung Derajat (PB KODRAT) ini
menggarisbawahi, gambaran di atas mengundang pertanyaan sekaligus
kekhawatiran. Mengingat dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun terakhir,
anggaran untuk pendidikan telah dialokasikan sebesar 20 persen dari
total APBN, sebagaimana diamanatkan Pasal 31 Ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Saya
juga mengingatkan, pembangunan sumber daya manusia harus bersifat
holistik, tidak hanya ditujukan membangun manusia Indonesia yang cerdas
dan terampil secara akademis. Sesuai amanat Konstitusi Pasal 31 Ayat 3
yang menggarisbawahi bahwa sistem pendidikan nasional yang
diselenggarakan oleh Pemerintah adalah sistem pendidikan yang ditujukan
untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," pungkas Bamsoet. (rls|ulul|alfa)
Posting Komentar untuk "Ketua MPR: Pendidikan Tinggi Harus Bisa Dinikmati Seluruh Warga Negara"