TEROR yang melanda negeri ini seminggu terakhir, isunya melebar
ke mana-mana. Mulai dari revisi UU Antiterorisme, wacana kegagalan
pemerintah dalam upaya deradikalisasi, hingga sistem pendidikan yang tak
mendukung, menjadi bahasan hangat.
Khusus dunia pendidikan, Menteri Ristek dan Dikti bahkan telah memecat dekan dan tiga dosen
di sebuah universitas terkenal di Indonesia karena dianggap mengajarkan
radikalisme. Jenjang sekolah dasar dan menengah juga menjadi sorotan.
Berikut adalah hasil penelitian yang dilakukan Agus Mutohar,
kandidat PhD di Fakultas Pendidikan, Monash University, Australia,
tentang tipe sekolah swasta Islam yang rentan disusupi paham
radikalisme.
**
RENTETAN aksi terorisme kembali terjadi di Indonesia seminggu
terakhir ini. Mulai dari aksi terorisme di rumah penahanan narapidana
teroris di Markas Komando Brigade Mobil Depok Jawa Barat, serangan bom
di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur Minggu lalu, dan teror bom
lainnya di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya.
Puluhan korban tewas dan luka-luka.
Menyikapi rentetan tindakan teror tersebut, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemerintah akan membasmi terorisme sampai ke akar-akarnya.
Upaya serius Presiden Jokowi tersebut patut diapresiasi. Namun,
permasalahan terorisme sangat kompleks karena tidak ada faktor tunggal
yang bisa menjelaskan mengapa seseorang melakukan tindakan teror.
Pentingnya sekolah untuk mencegah radikalisme
Salah satu langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah
merebaknya terorisme di Indonesia adalah menggunakan lembaga pendidikan
untuk menyemai tumbuh kembangnya sikap toleransi sehingga dapat
menghentikan masuknya pemikiran-pemikiran radikal.
Tapi yang terjadi malah sebaliknya, sekolah-sekolah di Indonesia menjadi lahan tumbuh suburnya paham ekstremisme.
Survei terkini yang dirilis oleh beberapa lembaga seperti Wahid Institute, Pusat Pengkajian Islam Masyarakat (PPIM), dan Setara Institute mengindikasikan terjadinya penyebaran ajaran intoleransi dan paham radikalisme di lembaga pendidikan di Indonesia.
Survei toleransi pelajar Indonesia yang dilakukan oleh Setara
Institute pada 2016 menyimpulkan bahwa 35,7% siswa memiliki paham
intoleran yang baru dalam tataran pemikiran, 2,4% persen sudah
menunjukkan sikap intoleran dalam tindakan dan perkataan, serta 0,3%
berpotensi menjadi teroris.
Survei ini dilakukan atas 760 responden yang sedang menempuh pendidikan SMA negeri di Jakarta dan Bandung, Jawa Barat.
Survei dari Wahid Institute dan PPIM juga menunjukkan kecenderungan serupa yang mengkhawatirkan.
Karakter sekolah yang rentan
Pada 2017, saya terlibat dalam penelitian di 20 sekolah swasta Islam
di Jawa Tengah untuk melihat upaya mereka dalam merespons paham radikal.
Penelitian ini melibatkan akademisi dari Monash University, Australia,
Universitas Islam Negeri Walisongo di Semarang dan Universitas Gadjah
Mada di Yogyakarta dengan dukungan dari Australia-Indonesia Centre.
Salah satu capaian dalam riset yang kami lakukan adalah kami berhasil
mengidentifikasi tiga tipe sekolah yang rentan terhadap paham-paham
radikal. Karena alasan prinsip penelitian dan kesepakatan dengan sekolah
yang kami teliti, kami tidak akan merilis nama-nama sekolah yang kami
teliti.
Tiga tipe sekolah yang rentan terhadap paham radikal dalam penelitian kami adalah:
1. Sekolah tertutup (closed schools)
Alih-alih menerima perubahan, ciri-ciri sekolah tertutup adalah
mengajarkan sikap yang sempit dan cenderung menutupi ide-ide dan
perkembangan dari luar.
Salah seorang kepala sekolah yang kami temui menjelaskan pentingnya
menggunakan peradaban Islam (tsaqofah Islamiyah) sebagai benteng untuk
melawan globalisasi Barat.
Selain membenturkan peradaban Islam dan Barat, sekolah yang mempunyai
tipologi tertutup ini menekankan pentingnya praktik ajaran Islam versi
mereka dan menolak versi Islam yang kebanyakan dianut oleh Muslim di
Indonesia.
2. Sekolah terpisah (separated schools)
Kedua, sekolah yang berisiko menumbuhkan ajaran radikal adalah tipe
sekolah terpisah. Sekolah jenis ini bisa dilihat dari cara mereka
merekrut guru dan partisipasi mereka dalam kegiatan sosial keagamaan.
Sekolah terpisah sangat ketat dalam proses perekrutan guru, terutama guru agama.
Berdasarkan data yang kami dapat, sekolah dalam kategori ini hanya
akan merekrut guru agama dari kelompok mereka. Sekolah akan menggunakan
rekomendasi dari jejaring mereka atau merekrut alumni yang mempunyai
paham Islam yang sama.
Selain itu, sekolah tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat yang tidak sesuai dengan paham mereka.
Sekolah jenis ini sangat berbeda dengan sekolah Islam lainnya yang menerapkan konsep terintegrasi (integrated schools).
Beberapa sekolah yang berafiliasi dengan organisasi Islam besar
seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tidak mempermasalahkan
latar belakang kelompok Islam yang berbeda.
Salah seorang kepala sekolah dari sekolah NU misalnya menyatakan
bahwa di sekolahnya terdapat guru-guru yang berlatar belakang
Muhammadiyah. Sekolah-sekolah ini juga aktif berpartisipasi dalam
kegiatan bermasyarakat, termasuk mengikuti kegiatan antaragama.
3. Sekolah yang mengajarkan identitas Islam murni (schools with pure Islamic identity)
Tipe sekolah yang ketiga bisa dilihat dari cara sekolah
mengkonstruksi identitas Muslim. Sekolah yang berisiko menumbuhkan
radikalime menjadikan Islam sebagai konstruksi identitas tunggal dan
menolak identitas-identitas yang lain.
Hal ini berbeda dengan sekolah Islam yang lain yang cenderung
mengganggap bahwa identitas sebagai Muslim dan identitas lainnya tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Sekolah Islam moderat biasanya tidak mempertentangkan identitas sebagai Muslim dan identitas sebagai warga negara Indonesia.
Ketika sebuah sekolah memunculkan identitas Muslim yang tunggal,
sekolah tersebut menumbuhkan sikap radikal karena mereka hanya mempunyai
penafsiran Islam tunggal sesuai dengan aliran mereka.
Kepala sekolah dari sekolah model ini biasanya menjelaskan bahwa semua siswa harus mengikuti semua ritual agama yang dianut di sekolah meski mereka berasal latar belakang organisasi Islam yang berbeda.
Sebuah pernyataan dari kepala sekolah yang kami temui misalnya
mengatakan bahwa walau siswa berlatar belakang NU yang membaca qunut
(doa ketika salat subuh), setelah masuk sekolah tidak boleh lagi
mempraktikkan doa tersebut.
Praktik ini sangat berbeda dengan sekolah lain yang memberikan
kewenangan kepada guru agama untuk memberikan keleluasaan siswa untuk
melakukan qunut atau tidak.
Selain itu, identitas tunggal dan penolakan terhadap
identitas-identitas lain cenderung memunculkan sikap "kami melawan
mereka" atau "we versus them" sehingga memunculkan upaya
pengkotak-kotakan seperti Muslim dan non-Muslim bahkan antar sesama
Muslim yang memiliki penafsiran agama yang berbeda.
Apa yang bisa kita lakukan?
Tiga tipe sekolah di atas memfasilitasi tumbuhnya sikap intoleransi
dan paham radikal di lembaga pendidikan yang bisa berujung pada tindakan
terorisme.
Rentetan teror bom yang terjadi akhir-akhir ini bisa dijadikan momentum pemerintah untuk merencanakan langkah proaktif untuk mempromosikan keterbukaan, keberagaman, integrasi sosial, dan konstruksi identitas yang beragam di sekolah-sekolah di tanah air.
Kampanye toleransi yang dilakukan oleh pemerintah akhir-akhir ini
seyogyanya bisa menjangkau lembaga-lembaga pendidikan di tanah air lewat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama.
Sekolah harus dibekali kerangka kerja dan program untuk menumbuhkan
sikap moderat dan toleransi. Selain itu, Dinas Pendidikan dan Kantor
Wilayah Kementerian Agama di daerah juga harus mampu mengidentifikasi
sekolah-sekolah yang rentan terhadap radikalisme dan melakukan langkah
persuasif untuk mencegah menyebarnya radikalisme di sekolah tersebut. (pikiran-rakyat.com).
Posting Komentar untuk "Tipe Tipe Sekolah yang Rentan Disusupi Radikalisme"