Oleh: Roudlon, S.Ag (Guru MAN Lamongan)
Persoalan hoax tidak bisa dianggap remeh. Sama seperti negara lain, negeri Indonesia kini juga tengah resah dilanda bayang-bayang virus hoax
yang terus mengancam. Kemunculannya telah menimbulkan segregasi kuat di
tengah masyarakat yang membawa banyak korban. Tidak hanya di
pemerintahan, korban berita hoax juga menimpa masyarakat bawah.Malah di
Indramayu, sedikitnya 90 rumah rusak akibat aksi anarkis massa tiga desa
tetangga setelah mendapat berita bohong. Juga ada seorang ibu dikeroyok
warga kampung ramai-ramai di daerah Brebes karena diduga sebagai
penculik anak gara-gara berita hoax.
Fenomena ini tentu memprihatinkan. Apalagi, berita hoax tersebut
muncul di social media (sosmed) yang terus meracuni para pengguna
internet juga pemegang android dan gadget. Padahal, sebegian besar
pemegang gadget dan android adalah pelajar dan mahasiswa sebagai
generasi penerus bangsa. Malah jumlah pengguna internet dari anak-anak
dan pelajar di tanah air saja, sesuai hasil survei terbaru dari UNICEF,
disebutkan sekitar 30 juta orang. Terus apa jadinya masa depan bangsa,
kalau generasi penerusnya ternyata merupakan produk generasi hoax? Di sinilah pentingnya pendidikan dihadirkan dan dipekuat sebagai solusinya.
Mengapa harus pendidikan? Terbukti, Presiden RI Joko Widodo telah turun tangan untuk menangani hoax bahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir konten dan situs yang diyakini mengandung dan menyebarkan hoax.
Sampai 31 Desember 2016 lalu, ada 773.339 konten negatif diblokir.
Selain itu, pemerintah juga telah membentuk Badan Cyber Nasional. Di
sejumlah kota juga telah dideklarasikan Masyarakat Indonesia Anti Hoax. Namun, hoax masih tetap sulit terbendung hingga kini.
Asal Usul Hoax
Istilah hoax berasal dari kata hocus yang berarti menipu. Jhon M. Echols menyebut hoax merupakan cerita bohong. Istilah hoax
tersebut sebenarnya telah lama ada dan dipakai, namun baru populer
digunakan di kalangan netter Amerika Serikat setelah ada film berjudul
"The Hoax" yang menghebohkan.
The Hoax merupakan sebuah film drama
Amerika 2006 yang disutradarai Lasse Hallström dan diskenario oleh
William Wheeler. Film ini dibuat berdasarkan buku dengan judul yang sama
ditulis Clifford Irving dan berfokus pada biografi Irving sendiri,
serta Howard Hughes yang dianggap membantu menulis.
Banyak kejadian yang diuraikan Irving
pada bukunya diubah dalam film. Irving protes karena flmnya tidak sesuai
fakta dirinya. Sejak itu, film hoax dianggap sebagai film yang banyak
mengandung kebohongan, sehingga banyak kalangan terutama para netter
menggunakan istilah hoax untuk menggambarkan suatu kebohongan. Lambat
laun, penggunaan kata hoax semakin gencar di kalangan netter. Bahkan
kata hoax digunakan netter di hampir seluruh belahan dunia, termasuk di
Indonesia.
Sama seperti di negera lain, para netter
di tanah air juga disibukkan dengan membanjirnya berita atau informasi
setiap hari, bahkan tiap jam dan detik. Dan ternyata dari berita dan
informasi tersebut, banyak yang bohong (hoax). Sekilas, para netter
tidak bisa membedakan, padahal sudah terlanjur tersebar berantai, baik
lewat group WhatsApp, facebook, twitter, maupun media sosial lainnya.
Bahaya Hoax
Dalam kajian historis, hoax ternyata
bukan hanya muncul sekarang ini, tapi sudah menjadi fenomena sejak dulu.
Di kalangan ummat Islam misalnya, masalah hoax sudah bukan asing lagi
bahkan asbabun nuzul dari QS. Surat Al-Hujurat menjadi bukti bahwa hoax
juga sudah terjadi pada masa Nabi. Ayat tersebut turun mengingatkan
kepada ummat Muslim agar tidak percaya begitu saja pada berita yang
dibawa oleh orang-orang fasik.
Jadi, hoax sudah menjadi fenomena
klasik. Fenomena ini juga sudah dimuat dalam Al-Qur'an surat An-Nur ayat
11. Tentu ini menjadi warning bagi semua karena fenomena tersebut tidak
bisa dielakkan lagi terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bila tidak
juga segera dtangani, maka bangsa ini akan terus jadi bulan-bulanan
berita hoax, dan tidak menutup kemungkinan juga sampai membawa pada
kehancuran.
Nabi Muhammad telah memberi contoh
dengan tidak menelan mentah-mentah berita yang diterima, tapi melakukan
tabayun (klarifikasi) lebih dulu, sehingga tidak menimbulkan fitnah yang
berdampak pada peperangan dan kehancuran. Itulah dampak yang pernah
dirasakan ummat Islam juga ummat lain di masa lalu.
Dalam catatan sejarah ummat Islam,
kehidupan ummat Islam pernah hancur gara-gara hoax. Pemerintahan
Khulafaur Rosyidin di bawah pimpinan Utsman bin Affan contohnya,
akhirnya dilanda gejolak politik, hingga sang khalifah terbunuh karena
berita bohong atau fitnah (hoax) yang disebarkan orang Yaman berdarah
Yahudi, Abdullah bin Saba'. Fitnah Abdullah bin Saba' membuat ummat
Islam terpecah belah dan saling berperang. Pun demikian dengan
pemerintahan Khalifah Ali bin Abu Thalib, khalifah keempat Khulafaur
Rosyidin. Hingga, ibukota pemerintah Islam dipindah Ali dari Madinah ke
Kuffah, Irak. Itupun masih belum bisa menghalau hasutan yang kemudian
melahirkan perang Shiffin antara kubu Ali dan Mu'awiyah bin Abu Sofyan.
Begitu juga isteri Nabi, Aisyah ra ikut
termakan hasutan yang berujung perang Jamal (unta). Pemerintahan
Khulafaur Rosyidin pimpinan Ali tidak mampu membendung derasnya fitnah
dan hasutan yang bermunculan saat itu. Kubu Ali akhirnya pecah jadi tiga
kelompok setelah Perang Shiffin, yakni kelompok pendukung Ali (Syi'ah),
Khawarij, dan Murji'ah. Tak lama setelah itu, pemerintahan khulafaur
rosyidin runtuh setelah Ali terbunuh, digantikan Dinasti Bani Umayah
pimpinan Mu'awiyah bin Abu Sofyan di Damaskus, Syiriah.
Urgensi Pendidikan Karakter
Besarnya dampak yang ditimbulkan hoax
dalam sejarah perlu menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia.
Apalagi berita hoax telah mengoyak generasi muda tanah air. Mengingat,
mayoritas pengguna media sosial adalah mereka yang masih berusia mudah.
Tak sedikit pula yang masih berstatus sebagai pelajar; anak usia SD dan
SMP saja sekarang banyak yang sudah aktif di media sosial. Mereka
memiliki akun di facebook, BBM, Instagram dan lainnya. Terlebih mereka
yang duduk di bangku SMA atau mahasiswa. Mereka telah banyak berselancar
di dunia maya.
Mencegah mereka menggunakan media sosial
tentu pekerjaan berat, apalagi sekarang ini sudah menjadi trend di
kalangan mereka. Yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan
penyadaran pada mereka. Dan wahana paling efektif untuk kegiatan
penyadaran pada mereka adalah melalui pendidikan. Jadi, dunia pendidikan
sangat vital dan menjadi leading sektor untuk bisa menangkal virus hoax
yang kini terus mewabah. Para pendidk dituntut cermat dalam membaca
keadaan. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan. Karenanya, dunia pendidikan
perlu melakukan langkah-langkah kongkrit.
Di antara langkah yang bisa diambil
dunia pendidikan adalah menanamkan kejujuran pada siswa. Slogan
character building (pembentukan karakter) yang dulu pernah
digembar-gemborkan di dunia pendidikan perlu dibangkitkan dan dikuatkan
kembali. Dan bukan malah mengotorinya seperti kasus membocorkan soal
Ujian Negara Berbasis Komputer (UNBK) pada siswa yang masih terjadi
akhir-akhir ini. Praktek itu dalam jangka pendek memang akan bisa
membantu mengangkat nilai siswa, tetapi jangka panjang justru akan
merusak karakter siswa.
Rusaknya karakter siswa, yang
notabene-nya merupakan generasi penerus bangsa tentu akan sangat
membahayakan bagi kelangsungan kehidupan bangsa kedepan.Mengingat,
mereka inilah yang akan menjadi tumpuhan masa depan bangsa. Baik
buruknya masa depan bangsa akan sangat ditentukan kualitas mereka. Untuk
itu, semua stakeholder perlu sadar dan mengarahkan sekaligus menguatkan
pencapaian tujuan mulia dunia pendidikan. Dengan karakter jujur, siswa
akan terbiasa bersikap jujur termasuk tidak membuat dan mempercayai
berita hoax di media sosial.
Langkah lain yang bisa dilakukan adalah
membudayakan sikap tabayun (klarifikasi), seperti yang diajarkan agama.
Tabayun dalam arti mencari kejelasan tentang sesuatu sampai jelas benar
keadaannya. Meneliti dan menyeleksi berita, tidak tergesa-gesa
memutuskan masalah, baik dalam hal hukum, agama, kebijakan publik,
sosial-politik dan lainnya hingga jadi jelas permasalahannya.
Proses pembentukan karekter tersebut
sangat efektif dilakukan di lembaga pendidikan. Dan ini sekaligus
sebagai pembelajaran bagi lembaga pendidikan yang ada karena untuk
membentuk karakter siswa seperti itu, tidak cukup hanya mengedepankan
aspek pengetahuan (knowledge) semata seperti selama ini yang
terjadi di sebagian sekolah, tetapi juga aspek iman dan taqwa. Atau
meminjam Ki Hajar Demantoro dengan istilah cipta, rasa, dan karsa. Misi
tersebut sejalan dengan amanah pendidikan nasional yang mengarahkan
siswa untuk mahir dalam aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik secara
integratif, tidak parsial.
Amanah pendidikan tersebut sudah
tertuang dalam Undang-undang (UU) nomor 20 tahun 2013, yang menjadi
acuan Kurikulum 2013. Di UU itu diamanahkan bahwa proses pengajaran
dilakukan dengan mengembangkan aspek sikap, pengetahuan, dan aspek
ketrampilan. Konsep yang digunakan adalah keseimbangan antara hardskill dan softskill.
Menyeimbangkan antara aspek spiritual, sosial, pengetahuan, dan
ketrampilan. Sehingga proses pendidikan tidak bisa hanya transfer of
knowledge, tetatpi juga transfer of value. Guru tak hanya sekedar
menyampaikan materi, tetapi juga memberi bimbingan dan keteladanan.
Bila melihat Kurikulum 2013, proses
pembelajaran sudah diarahkan pada pembentukan tiga aspek tersebut;
afektif, kognitif, dan psikomotorik. Pembentukan ketiga aspek dilakukan
pada semua mata pelajaran (mapel), tanpa terkecuali, baik pelajaran umum
maupun pelajaran agama. Itu terlihat dari semua materi mapel yang
dikembangkan dari rumusan komptensi inti (KI) yang sudah dibuat
pemerintah. Rumusan KI dikembalikan dati aspek spiritual, sosial,
pengetahuan, dan ketrampilan. KI-KI itu kemudian diturunkan dalam
komptensi dasar (KD), sehingga materi yang diajarkan guru tidak bisa
keluar dari KI dan KD yang sudah dirumuskan oleh pemetrintah.
Kondisi ini tentu akan sangat
memungkinkan bagi lembaga pendidikan untuk membangun karakter (character
building) anak didik. Dan tanpa disadari rumusan KI-KD akan
memungkinkan melahirkan generasi unggul yang memiliki sifat shiddiq,
amanah, tabligh, dan fathonah. Mengingat, mereka tidak hanya dibekali
khazanah intelektualitas, tetapi sekaligus khazanah spiritualitas.
Lembaga pendidikan dengan perangkat
kurikulum yang ada bisa mengambil peran itu. Sehingga keberadaan lembaga
pendidikan benar-benar melahirkan generasi shiddiq, amanah, tabligh,
dan fathonah. Siddiq artinya benar. Yakni mengajarkan agar siswa selalu
berkata benar, sesuai kenyataan. Bicaralah dengan fakta, karena memiliki
beban sebagai pribadi yang amanah.
Fathonah berarti cerdas dalam segala
hal. Cerdas dalam membaca dan mencerna berita, memilah dan memilih
bacaan. Cerdas dalam bersikap. Juga, cerdas dalam berkata dan menulis
sesuatu di mana pun, termasuk menulis di media sosial. Berbekal ilmu,
mereka menjadi cerdas menyikapi berita hoax. Sedang Tabligh berarti
menyampaikan. Kemampuan berkomunikasi dengan baik. Informasi jika
disampaikan dengan cara tidak tepat akan dipahami secara salah oleh yang
lain. Kemampuan komunikasi selayaknya dilatih mulai dari sekolah.
Dengan demikian, lembaga pendidikan
tidak hanya sebagai lembaga yang mendidik siswa agar pintar dan cerdas
semata, tapi juga berkarakter dan berkepribadian. Dua sisi itu
dikembangkan secara bersamaan. Sehingga, lembaga pendidikan akan menjadi
leading sektor atau garda terdepan membangun genarasi anti hoax. Di
lembaga pendidikan islam inilah diharapkan tercetak genarasi jujur,
cerdas, dan amanah.
Berita hoax akan menjadi hampa dan tidak
bermakna jika genarasi yang dilahirkan adalah genarasi cerdas dalam
menyikapinya. Hoax tak akan berpengaruh kalau kita semua bisa
membedakanya dengan berita yang benar. Dan pastinya, para penyebar hoax
akan menyesal karena tak memperoleh respon yang diinginkan. (*)
Sumber: http://jatim.kemenag.go.id/opini/606/urgensi-pendidikan-karakter-di-tengah-ancaman-hoax
Posting Komentar untuk "Pendidikan Karakter di Tengah Ancaman Hoax"