Pencatatan Nikah Atau Pencatatan Perkawinan?


Oleh: Insan Khoirul Qolbi

Pasca terbitnya Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 (PMA 19 2018) tentang Pencatatan Perkawinan, terjadi kehebohan di kalangan pemangku kepentingan kepenghuluan. Pasalnya, istilah yang digunakan dalam beleid tersebut adalah pencatatan perkawinan, bukan pencatatan nikah. Sementara selama ini, terminologi 'pencatatan nikah' adalah istilah yang sering digunakan dalam sejumlah aturan.



Kehebohan itu sesungguhnya sudah muncul di saat babak akhir dari penyusunan PMA 19 2018. Banyak pihak yang terlibat dalam penyusunan regulasi itu mengaku kaget ketika Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI Prof. Achmad Gunaryo mengusulkan dan "sedikit memaksa" penggunaan istilah "perkawinan" dalam PMA 19 2018.

Secara peristilahan dalam bahasa Indonesia mungkin tidak ada perbedaan dari kata 'nikah' dan 'perkawinan'. Oleh karena itu saya tertarik untuk mengangkat topik ini dari perspektif ilmu hukum perundang-undangan sejauh kemampuan saya dalam menganalisnya, yang akan dibahas pada akhir tulisan ini.

Aturan Pencatatan Nikah

Aturan teknis tentang pencatatan nikah sudah berulang kali mengalami perubahan. PMA 19 2018 yang diundangkan pada tanggal 27 Agustus 2018 merupakan pengganti dari PMA Nomor 11 Tahun 2007 (PMA 11 2007) tentang Pencatatan Nikah.

Dalam catatan saya, setidaknya pernah ada 6 (enam) aturan teknis terkait pencatatan nikah yang diterbitkan oleh Kementerian Agama, yakni mulai dari Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1947 tentang Pentjatat Nikah, dan PMA Nomor 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah.

Ada juga KMA Nomor 298 Tahun 2003 tentang Pencatatan Nikah, Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 125 Tahun 2003 dan Nomor 532 Tahun 2003 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk, dan PMA Nomor 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah. Terakhir adalah PMA 11 2007 tentang Pencatatan Nikah.


Kenapa aturan pencatatan nikah sering mengalami perubahan? Jawabannya tidak lain karena sebagai produk hukum tentu akan mengalami perubahan, menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang terus berubah. Sebab, aturan hukum bukanlah kitab suci yang sudah tidak bisa diutak-atik lagi. Maka, pemaknaan terhadap regulasi idealnya memang harus mengikuti perkembangan zaman. Ini akan mendorong regulasi apapun senantiasa relevan dengan semangat dan kebutuhan masyarakat terhadap hukum.

Terkait dengan PMA 19 2018 ini, bisa dikatakan sebagai kumpulan puzle-puzle dari aturan teknis tentang pencatatan nikah yang berserakan di sejumlah regulasi baik yang masih berlaku maupun yang sudah dinasakh sebelum PMA 19 2018, sehingga perlu dilakukan kodifikasi dan dijadikan dalam satu rujukan.

Sebagai contoh, PMA Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim dipindahkan ke dalam Pasal 12 ayat (1) sampai (5) PMA 19 2018. Kemudian Keputusan Bersama Menteri Agama RI dengan Menteri Luar Negeri RI Nomor 589 Tahun 1999 dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Juklak Perkawinan WNI di Luar Negeri dan PMA Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pendaftaran Surat Bukti Perkawinan WNI Yang Dilangsungkan di Luar Negeri dimasukkan dalam Pasal 28 dan 29 PMA 19 2018.

Ada juga Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017 tanggal 28 September 2017 tentang Pencatatan Perjanjian Perkawinan sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 perihal Uji Materi Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diakomodir dalam PMA 19 2018 Pasal 19 dan 20.

Kemudian, keberadaan P3N (sekarang P4) yang sebelumnya diatur dalam Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor 1 Tahun 2015 dimasukkan dalam Pasal 16 ayat (2) PMA 19 2018. Kini, P4 diatur khusus dalam Peraturan Dirjen Bimas Islam Nomor 977 Tahun 2018 sebagai turunan dari PMA 19 2018. Legalisasi buku nikah yang tidak diatur di PMA 11 2007 diambil dari KMA 477 2004 Pasal 26 ayat (1), (2), dan (3) kemudian  dimunculkan di PMA 19 2018 Pasal 36 ayat (1), (2) dan (3).

Selain itu, materi muatan PMA 19 2018 juga banyak mengatur hal-hal baru yang belum diatur oleh regulasi sebelumnya, seperti penggunaan teknologi informasi (SIMKAH WEB dan Kartu Nikah), legalisasi buku nikah akibat kejadian luar biasa, perubahan nama yang harus melalui putusan pengadilan negeri, dan lain sebagainya.


Meski demikian, setelah diundangkannya PMA 19 2018 ini bukannya tanpa kritik. Nasibnya kira-kira sama seperti PMA 11 2007, sehari setelah diundangkan lantas sudah masuk naskah perubahannya. Sejumlah pejabat dalam bidang kepenghuluan dan organisasi penghulu di berbagai daerah sudah memberi masukan baik secara tertulis maupun lisan terhadap penyempurnaan PMA 19 2018.

Menurut hemat saya, masukan-masukan tersebut, ada yang bisa diterima ada juga yang tidak bisa diterima. Masukan yang tidak dapat diterima itu kemungkinan karena masalah perbedaan pendapat saja. Misalnya aturan tentang perubahan nama pada akta perkawinan yang harus melalui putusan Pengadilan Negeri. Hal ini mengacu pada UU Adminduk seperti yang termaktub dalam Pasal 52 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 23 Tahun 2006. Sementara ada juga UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan aturan perubahannya, yaitu UU Nomor 50 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa sengketa perdata bagi umat Islam harus melalui Pengadilan Agama.

Terminologi "Perkawinan"

Dalam penelusuran saya, semua aturan teknis pencatatan nikah di Indonesia selama ini memakai istilah "nikah", bukan "perkawinan". Penggunaan istilah "nikah" ini disandarkan kepada Undang Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (UU Pencatatan NTR), dimana pada Pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa kata 'nikah' diperuntukkan hanya untuk pernikahan yang dilakukan menurut agama Islam.

Maka, menjadi wajar ada yang merasa keberatan dengan terminologi perkawinan yang dipakai untuk kalangan umat Islam. Ketika selama ini akrab dengan istilah Buku Nikah, lantas akan berganti dengan Buku Perkawinan. Jika konsisten mengikuti PMA 19 2018, Kartu Nikah pun harus berganti menjadi Kartu Perkawinan. Gedung Balai Nikah nantinya mungkin berganti menjadi Gedung Balai Perkawinan. Perubahan istilah tersebut akan berdampak pada anggaran terutama yang terkait dengan pengadaan sarana dan prasarana.

Sedangkan penggunaan istilah "perkawinan" mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian, masing-masing istilah memiliki landasan hukum. Hanya saja menurut saya, UU Pencatatan NTR memiliki posisi yang lemah jika dihadapkan dengan UU Perkawinan dengan argumentasi sebagai berikut:

Pertama, UU Pencatatan NTR hanya mengatur sebagian kecil urusan pencatatan pernikahan yang hanya terdiri dari 7 Pasal dan 17 ayat. Kedua, pada awalnya undang-undang ini tidak berlaku secara nasional, hanya di Pulau Jawa dan Madura. Namun 8 (delapan) tahun kemudian oleh UU Nomor 32 Tahun 1954 barulah UU Pencatatan NTR diberlakukan di seluruh Indonesia. Ketiga, menurut asas lex postiori derogat legi priori (aturan terbaru mengesampingkan aturan sebelumnya), maka yang harus dijadikan rujukan adalah UU Perkawinan, sehingga istilah yang dipakai adalah 'perkawinan' sebab UU Perkawinan belakangan datang dibanding UU Pencatatan NTR.


Meski demikian, terhadap perbedaan pandangan ini, menurut saya tidak ada persoalan istilah mana yang mau dipakai karena masing-masing memiliki sandaran hukum, tergantung kepada unit pembentuk PMA, istilah mana yang mau digunakan, dalam hal ini Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri.

Yang terpenting saat ini adalah bagaimana materi-materi yang ada dalam PMA 19 2018 ini dapat dilaksanakan oleh seluruh stake holder kepenghuluan di Indonesia dan di luar negeri, tentu dengan tidak menapikan masukan-masukan terhadap penyempurnaan PMA ini. Jika memang dianggap perlu diubah lagi, ya siapa takut!!!. Wallaahu a'lam bis shawab.

*Penulis adalah Pelaksana pada Subdit Bina Kepenghuluan Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam
Sumber: https://bimasislam.kemenag.go.id/post/opini/pencatatan-nikah-atau-pencatatan-perkawinan

Posting Komentar untuk "Pencatatan Nikah Atau Pencatatan Perkawinan?"