Menyelisik Konsep Bendera Dalam Hadis



Oleh: Abdurrasyid Ridha

Pada peringatan Hari Santri 22 Oktober 2018 silam di Garut Jawa Barat, terjadi peristiwa pembakaran bendera yang terdapat tulisan tauhid oleh oknum Banser. Peristiwa itu lantas menyulut reaksi dari berbagai kalangan, baik pro maupun kontra. Pihak yang pro berpendapat bahwa tindakan itu wajar sebagai bentuk penghormatan terhadap kalimat tauhid, dan bendera itu telah digunakan sebagai identitas kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang notabene dilarang oleh Pemerintah. Pihak yang kontra berpendapat bahwa itu adalah pelecehan terhadap kalimat tauhid. Bendera yang bertuliskan tauhid seperti itu adalah panji Rasulullah SAW. Saat itu, muncul pula istilah bendera tauhid. Nah, tulisan ini bermaksud untuk menyelisik apa dan bagaimana sebenarnya panji Rasulullah SAW itu dari aspek hadis.


ISTILAH BENDERA
Dalam beberapa hadis, istilah bendera memiliki tiga macam, yaitu liwa, rayah, dan ‘uqab. Menurut para ahli bahasa, liwa danrayah sebenarnya adalah dua kata sinonim (Tharh at-Tatsrib: 8/28). Keduanya mempunyai makna sama sebagai bendera (al-‘alam). Menurut Ibnu Hajar al-Asqallani, perbedaan istilah liwa dan rayah hanyalah sebatas kebiasaan saja. Menurut Abul Aswad dari Urwah, istilah rayah pertama kali digunakan pada saat perang Khaibar. Sementara pada perang-perang sebelumnya, istilah yang digunakan adalah liwa (Fathul Bari: 12/29).

Pada dasarnya, ar-rayah dan al-liwa adalah panji perang yang dipegang oleh komandan tentara dan diangkat di atas kepalanya. Namun menurut Abu Bakar al-Arabi, al-liwa tidaklah sama dengan ar-rayah. Al-liwa adalah sesuatu yang diikatkan dan dililitkan di ujung tombak. Sedangkan ar-rayah adalah sesuatu yang diikatkan di ujung tombak tanpa dililitkan dan dibiarkan berkibar-kibar ditiup oleh angin (Fathul Bari: 9/160).

Ada juga yang berpendapat bahwa al-liwa adalah bendera besar yang digunakan sebagai tanda tempat wakil pemimpin negara (amir).  Jika sang amir berkeliling ke tengah-tengah pasukannya, ia membawa liwa itu. Sedangkan ar-rayah adalah bendera yang dikuasai oleh panglima perang (Fathul Bari: 9/160).Sementara dalam beberapa riwayat hadis, disebutkan pula perbedaan antara liwa dan rayah. Terlepas dari kualitas hadisnya, perbedaan itu secara umum terletak pada warna, yaitu rayah berwarna hitam dan liwa berwarna putih.

Sebagian ulama ada pula yang membedakan al-liwa dan ar-rayah, yaitu al-liwa untuk wakil pemimpin negara (amir), sedangkan ar-rayah untuk selain amir (Faidh al-Bari: 4/213).  Menurut Ibnu al-Qayyim, ar-rayah adalah bendera besar yang dikuasai oleh panglima perang. Sedangkan al-liwa adalah bendera kecil yang menjadi tanda kelompok pemimpin pasukan yang dibawa saat berkeliling memimpin pasukannya (Faidh al-Qadir: 5/170). 

Selain rayah dan liwa, ada pula istilah lain yang digunakan, yaitu ‘uqab. Istilah ini ditemukan dalam hadis dari al-Hasan yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, yaitu terjemahannya berbunyi: “Rayah Rasulullahberwarna hitam dan diberi nama al-uqab” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: 7/721). Namun hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah karena merupakan hadis mursal. Al-Hasan merupakan seorang tab’iin dan tidak mungkin ia bertemu langsung Rasulullah. Ada level sahabat yang hilang dalam rantai sanadnya.

Sedangkan hadis al-Hasan yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, terjemahannya berbunyi: “Rayah Rasulullahberwarna hitam dan diberi nama al-uqab, serta sorbannya berwarna hitam” (Ath-Thabaqat al-Kubra: 1/455).  Hadis ini juga termasuk mursal karena bersumber dari al-Hasan. Selain itu, dalam rangkaian sanadnya terdapat perawi yang tidak disebutkan identitasnya (majhul).  Dengan demikian, hadis tentang istilah al-uqab ini pun tidak bisa dijadikan hujjah.

FUNGSI BENDERA
Dari berbagai hadis yang ada, fungsi penggunaan bendera diklasifikasikan menjadi tiga macam. Fungsi pertama, sebagai panji perang. Dalam peperangan, panji itu berfungsi untuk membedakan antara pihak lawan dan kawan. Bendera atau panji itu juga berfungsi sebagai penanda siapa yang menjadi panglima perang dari kedua kubu yang sedang berperang. Sang panglima berperang mempertahankan panji tersebut agar tidak terjatuh ke tangan musuh. Peperangan berlangsung menuju panji yang dikuasai oleh kedua panglima dari kedua kubu pasukan (Faidh al-Qadir: 5/170).

Panji perang adalah atribut yang sangat penting dalam peperangan. Ia juga berfungsi untuk menunjukkan kekuatan dan kesigapan dalam berperang. Ia juga berfungsi untuk menunjukkan kerja sama antara para mujahid yang berperang di jalan Allah. Dengan adanya panji perang, anggota pasukan mengetahui siapa yang menjadi komandan mereka. Dengan melihat bendera, mereka bisa berkumpul menuju sang komandan untuk mendapatkan perintahnya. Di sisi lain, panji perang berfungsi untuk menimbulkan rasa gentar di pihak musuh (Fiqh ad-Da’wah fi Shahih al-Imam al-Bukhari: 2/373).

Pada saat perang Khaibar, Nabi bersabda: “Besok pagi, aku akan menyerahkan bendera (rayah) kepada lelaki yang akan dianugerahi kemenangan melalui tangannya. Ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dirinya (Shahih Bukhari: 10/272).” Pemimpin negara (al-imam) menunjuk orang ia percayai untuk menjadi panglima perang dan membawa panji perang itu (rayah). Panglima perang itu juga ditunjuk karena kekuatan fisik, ketajaman mata batin, dan pengetahuannya. Sesampai di medan perang, panji perang itu (rayah) ditancapkan di tempat tertentu atas perintah sang imam. Panji itu tidak boleh dipindahkan kecuali atas perintah dirinya. Sedangkan liwa dipegang oleh amir atau orang lain yang ditunjuk pada saat peperangan (Fathul Bari: 9/163).

Fungsi sebagai panji perang inilah yang paling banyak ditemukan dalam berbagai kitab-kitab hadis. Nabi Muhammad sendiri menyerahkan sebuah bendera (liwa) kepada setiap pemimpin kabilah saat berperang di bawah komando beliau. Orang yang ditunjuk Nabi untuk membawa bendera itu menjadi naik pamornya. Hal itu itu karena pembawa bendera langsung ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tidak boleh membawa bendera perang tanpa seizin beliau (Irsyad as-Sari li Syarh Shahih al-Bukhari: 5/128).

Salah satu yang paling masyhur dan heroik terkait panji perang adalah kisah perang Mu’tah. Saat itu, Nabi Muhammad SAW menunjuk tiga panglima perang sekaligus, yaitu Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Secara simbolis, Nabi Muhammad menyerahkan panji perang (rayah) kepada Zaid bin Haritsah. Kepemimpinan ketiga panglima berlaku secara berurutan. Zaid bin Haritsah adalah panglima perang pertama. Jika ia gugur, panglima perang berikutnya adalah Ja’far. Jika Ja’far juga gugur, Abdullah bin Rawahah yang menjadi panglima.

Setelah berperang sengit dan mempertahankan panji perang hingga titik darah penghabisan, ternyata ketiga panglima yang ditunjuk oleh Rasulullah itu gugur dalam peperangan. Agar pasukan Islam tetap memiliki pemimpin, akhirnya Khalid bin Walid mengambil panji perang, meski ia tidak ditunjuk langsung oleh Rasulullah sebagai panglima. Pada akhirnya, di bawah komando Khalid bin Walid, perang Mu’tah bisa dimenangkan oleh pihak Islam. Pada saat itu pula, gelar Pedang Allah disematkan oleh Nabi Muhammad kepada Khalid bin Walid (Shahih Ibnu Hibban: 15/522).

 Fungsi kedua, bendera sebagai tanda utusan khusus dari Rasulullah untuk melaksanakan tugas tertentu. Hal ini terjadi pada Abu Burdah bin Niyar yang membawa bendera (liwa) saat diutus oleh Rasulullah untuk mengeksekusi seorang pelaku pelanggaran syariat berat. Dalam kasus ini, orang tersebut dieksekusi karena telah menikahi perempuan istri ayahnya. Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dianggap sebagai hadis hasan gharib, namun dianggap sahih oleh Syekh Albani (Sunan at-Tirmidzi: 3/643). Menurut asy-Saukani, hadis ini memiliki banyak jalur sanad yang para perawinya adalah para perawi sahih. Sedangkan menurut al-Mundziri, hadis ini memang memiliki banyak kontroversi (Tuhfatul al-Ahwadzi: 4/498).

Fungsi ketigadari bendera adalah sebagai penanda bagi pengkhianat di hari Kiamat. Hal ini diungkapkan dalam berbagai riwayat hadis, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Pada hari Kiamat, bagi setiap pengkhianat akan ditancapkan sebuah bendera sesuai dengan pengkhiatannya.”(Shahih Bukhari: 9/57).Menurut al-Qurthubi, hadis ini ditujukan kepada masyarakat Arab yang mengenal bendera putih sebagai simbol kesetiaan terhadap janji dan bendera hitam sebagai simbol pengkhianatan. Menurut Ibnu Hajar al-Asqallani, hadis ini menunjukkan betapa pengkhianatan sangat diharamkan, apalagi bagi pemimpin yang memiliki kekuasaan. Jika pemimpin berkhianat, maka akibat buruknya akan menimpa kepada banyak orang (Fathul Bari: 9/468).

WARNA BENDERA
Dari berbagai riwayat yang ditemukan di berbagai kitab hadis, paling tidak ada lima macam warna bendera, yaitu hitam, putih, kuning, merah, dan hijau. Di antara kelima macam itu, warna hitam dan putih yang paling banyak ditemukan di berbagai hadis. Memang ada lagi riwayat mursal dari Mujahid yang menyebutkan bahwa warna bendera itu adalah seperti warna debu (Mukhtasar Sunan Abi Daud: 2/172). Tapi riwayat ini tidak memiliki rangkaian sanad sebagaimana layaknya hadis yang terdapat di kitab-kitab hadis.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, istilah yang digunakan dalam berbagai riwayat terhadap bendera adalah liwa dan rayah. Karena banyaknya riwayat yang berbeda-beda tentang liwa dan rayah beserta warnanya yang bermacam-macam, Ibnu Hajar al-‘Asqallani mengatakan bahwa riwayat-riwayat itu bisa dikompromikan. Komprominya adalah bahwa penggunaan dan warna bendera memang berbeda-beda pada waktu yang berbeda-beda (Fath al-Bari; 9/160).

Jika dikaitkan dengan kedua istilah liwa dan rayah tersebut, keterangan hadis tentang pola warna bendera bisa diklasifikasi menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut:

1. Rayah Berwarna Hitam, Liwa Berwarna Putih
Riwayat tentang pola warna ini cukup banyak ditemukan di kitab-kitab hadis. Ulama hadis yang meriwayatkan hadis dengan pola warna seperti ini ini adalah Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah: 2/941), Abu Na’im al-Ashfahani (Hilyatul Auliya: 3/114), Abu Ya’la (Musnad Abi Ya’la: 4/257), Imam al-Baihaqi (as-Sunan Shugra: 3/166), Imam al-Baihaqi (as-Sunan al-Kubra: 6/362), dan Imam Tirmidzi (Sunan at-Tirmidzi: 4/196).  Namun dari sekian banyak riwayat itu, semua sanadnya memiliki kelemahan. Keterangan bahwa rayah berwarna hitam dan liwa berwarna putih berujung pada riwayat Ibnu Abbas. Di bawah Ibnu Abbas, rangkaian sanad dari hadis tentang hal ini berujung di perawi bernama Abu Mijlaz. Menurut adz-Dzahabi, Abu Mijlaz termasuk perawi terpercaya (tsiqah) dari kalangan Tabi’in, namun ia suka melakukan tadlis. Menurut Abu Zur’ah, dia adalah tsiqah. Namun menurut Ibnu Ma’in, Abu Mijlaz juga suka seorang mudhtarib al-hadis (Mizan al-I’tidal: 4/306).

 Selain Abu Mijlaz, dalam rangkaian sanad tersebut dari berbagai jalur, terdapat pula nama Hayyan bin Ubaidillah. Ibnu Hibban memasukkan Hayyan bin Ubaidillah dalam kitab kumpulan perawi tsiqah (Ats-Tsiqat). Abu Hatim menyebutnya sebagai shaduq. Menurut al-Baihaqi, para ulama memperbincangkan diri Hayyan bin Ubaidillah. Ibnu ‘Adi menyebutkannya di dalam kitab kumpulan perawi lemah (adh-Dhu’afa). Ibnu ‘Adi menambahkan lagi bahwa kebanyakan hadis yang diriwayatkan oleh Hayyan bin Ubadillah adalah hadis yang hanya ia sendiri yang meriwayatkan (tafarrud). Bahkan menurut Ibnu Hazm, dia adalah perawi yang tidak dikenal (majhul) (Lisan al-Mizan: 2/370).

Di samping itu, terdapat pula dalam rangkaian sanad hadis, seorang perawi Yazid bin Hayyan. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab kumpulan perawi tsiqah (ats-Tsiqat). Namun Ibnu Hibban juga menyebutkan bahwa Yazid bin Hayyan suka melakukan kesalahan dan berbeda dengan perawi lain. Menurut Yahya bin Ma’in, ia tidak apa-apa (laisa bihi ba’s). Namun menurut Imam Bukhari, Yazid bin Hayyan mempunyai banyak kesalahan (Tahdzib al-Kamal: 32/114). Dengan demikian, meski Ibnu Hibban memasukkan Yazid bin Hayyan ke dalam kumpulan perawi tsiqah, tetapi Yazid mendapat penilaian negatif (jarh) dari ahli hadis lain, yaitu Imam Bukhari. Sedangkan penilaian Yahya bin Ma’in, “tidak apa-apa” (laisa bihi ba’s) merupakan penilaian ta’dil yang rendah.

Menurut Imam at-Tirmidzi, saat mengomentari hadis yang dikeluarkan oleh dirinya, hadis ini adalah hasan gharib (Sunan at-Tirmidzi: 4/197). Demikian pula Syekh Albani juga menilai hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah sebagai hasan (Sunan Ibn Majah: 3/941). Hadis hasan merupakan hadis yang tingkatannya berada di tengah-tengah antara hadis sahih dan dha’if. Hal itu terjadi karena di antara perawinya ada yang kurang dhabith. Meski demikian, hadis hasan bisa dijadikan hujjah dan diamalkan (Taisir Mushthalah al-Hadits: 45-46). Sedangkan hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh hanya satu orang perawi (Ibid: 28).
    
2. Rayah Berwarna Hitam
Secara kuantitas, hadis yang menjelaskan tentang rayah Rasulullah berwarna hitam adalah hadis yang paling paling banyak ditemukan di kitab-kitab hadis. Kebanyakan hadis yang menyebutkan bahwa rayah berwarna hitam memiliki sanad yang terdapat perawi lemah. Namun terdapat satu hadis dari riwayat Anas yang dikeluarkan oleh an-Nasa’i yang memiliki sanad sahih. Hadis tersebut berbunyi: “Bahwa Ibnu Ummi Maktum membawa rayah Rasulullah yang berwarna hitam di sebagian peperangan yang diikuti Nabi Muhammad SAW” (Sunan an-Nasa’i al-Kubra: 5/181). Hadis ini disebut oleh Ibnu al-Qaththan memiliki sanad sahih dan tidak diragukan lagi bahwa inilah rayah Rasulullah (al-Badr a-Munir: 9/64).

Di antara sekian banyak hadis tersebut, terdapat hadis yang menyebutkan beberapa tambahan keterangan. Di antara keterangan tambahan itu adalah bahwa rayah itu berbentuk segi empat dan memiliki warna dominan hitam yang terbuat dari kain berbahan wol yang memiliki garis-garis hitam dan putih sehingga menyerupai macan tutul (Tuhfatul Ahwadzi: 5/268). Namun hadis yang menyebutkan tentang rayah yang bergaris hitam putih itu dan berbentuk segi empat dianggap oleh at-Tirmidzi sebagai hadis hasan gharib (Sunan at-Tirmidzi: 4/196). Semua jalur sanad dari hadis yang menjelaskan tentang bendera bergaris-garis ini melewati seorang perawi bernama Abu Ya’qub ats-Tsaqafi. Perawi ini dituding oleh Ibnu Hajar sebagai perawi yang majhul dan terdapat kelemahan dalam dirinya. Ibnu Abi Adi menyebutkan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ya’qub ats-Tsaqafi tidaklah terjaga (Anis as-Sari: 3/1811).

Ada lagi keterangan dari hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah bahwa rayahitu terbuat dari mirth murahhal milik Aisyah (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: 6/532).Mirth adalah kain yang terbuat dari wol, dan terkadang terbuat dari sutera. Mirth bisa berfungsi sebagai selimut, sarung, atau pakaian. Sedangkan murajjal atau murahhal adalah berarti terdapat gambar tertentu, bisa berupa periuk atau unta di kain tersebut (Majma’ Bihar al-Anwar: 4/565). Namun hadis dari Ibnu Abi Syaibah ini merupakan hadis mursal. Hal itu karena di jalur sanadnya, terdapat Umarah binti Abdurrahman, seorang tabiin perempuan yang tidak pernah langsung bertemu Rasulullah. Ia adalah pembantu di rumah Aisyah (Tahdzib al-Kamal: 35/242).    

3. LiwaBerwarna Putih
Hadis yang menyebutkan liwa Rasulullah berwarna putih disebutkan oleh empat imam hadis dalam kitab mereka masing-masing. Tiga dari mereka mengeluarkan hadis riwayat Jabir, yaitu at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan al-Hakim. Sedangkan satu lagi imam hadis yaitu Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan riwayat dari Umarah.

Redaksi (matan) hadis yang menjelaskan tentang liwa Rasulullah berwarna putih ini sedikit berbeda-beda. Pertama, riwayat dari at-Tirmidzi yang berbunyi: “Nabi SAW memasuki kota Mekkah dan liwa-nya berwarna putih”(Sunan at-Tirmidzi: (4:196). Kedua, riwayat dari Ibnu Hibban, kalimat yang digunakan adalah “Nabi SAW memasuki Tahun Penaklukan (‘Aam al-Fath)” dan liwa-nya berwarna putih” (Shahih Ibn Hibban:11/47). Ketiga, dalam riwayat al-Hakim, redaksinya adalah “Bahwasanya liwa-nya (Rasulullah SAW) saat beliau memasuki Mekkah adalah putih” (al-Mustadrak: 2/155). Keempat, riwayat Ibnu Abi Syaibah berbunyi: “Liwa Rasulullah SAW adalah putih” (Mushannaf Ibn Abi Syaifah: 6:533).

Tiga hadis yang berasal dari riwayat Jabir memiliki jalur sanad yang melewati seorang perawi bernama Yahya bin Adam. Ia memang dikenal sebagai seorang perawi yang tsiqah. Menurut an-Nasa’i, Abu Hatim, dan Ya’qub bin Syaibah, dia adalah tsiqah (at-Takmil fi al-Jarh wat Ta’dil: 2/154). Begitu pula al-Ijli dan Ibnu Hibban menganggapnya sebagai perawi tsiqah (Ikmal fi Tahdzib al-Kamal: 12/276). Namun tentang hadis ini dan kaitannya dengan Yahya bin Adam, Imam at-Tirmidzi berkomentar, “Ini adalah hadis gharib. Kami tidak mengenalnya kecuali dari hadis Yahya bin Adam dari Syarik.” Imam at-Tirmidzi juga pernah bertanya kepada Imam Bukhari tentang hadis ini. Lantas Imam Bukhari menjawab bahwa ia tidak mengenal hadis ini kecuali dari Yahya bin Adam dari Syarik (Sunan at-Tirmidzi: 4/196).

Dari keempat riwayat tersebut, di dalam sanad riwayat dari Ibnu Abi Syaibah terdapat seorang perawi bernama Muhammad bin Ishaq. Menurut Ibnu Hajar, Muhammad bin Ishaq bin Yasar al-Madani merupakan seorang perawi dari generasi tabiin cilik. Ia dianggap perawi shaduq, tapi suka melakukan tindakan tadlis. Menurut adz-Dzahabi, dia seorang perawi yang diperselisihkan hadisnya apakah bisa dijadikan hujjah atau tidak. Di samping itu, dia juga dituding terlibat aliran Syiah (tasyayyu’). Di samping itu, terdapat pula perawi bernama Umarah bin Abdurrahman. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Umarah adalah seorang tabi’in. Ia tidak pernah bertemu langsung dengan Rasulullah. Dengan demikian, hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah ini merupakan hadis yang terputus mata rantai sanadnya di tingkat sahabat. Karena itulah, hadis ini termasuk dalam kategori hadis mursal.

Ada lagi hadis yang redaksinya hampir mirip dengan keempat hadis di atas, yaitu hadis dari Imam Muslim yang juga berasal dari riwayat Jabir bin Abdullah. Hadis tersebut berbunyi, “Bahwasanya Nabi SAW masuk pada hari Penaklukan Mekkah dan beliau mengenakan sorban hitam” (Shahih Muslim: 2/990). Imam at-Tirmidzi pernah bertanya kepada Imam Bukhari tentang hadis ini dan kaitannya dengan hadis sebelumnya yang menyebutkan adanya bendera putih yang dibawa Nabi SAW saat menaklukkan kota Mekkah. Imam Bukhari menjawab, “Inilah hadis yang mahfuzh. Adapun hadis dari Yahya bin Adam bukanlah hadis mahfuz,  tapi hadis syadz(Su’alat at-Tirmidzi lil Bukhari: 2/287).

 Dalam ilmu hadis, hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah yang bertentangan dengan perawi tsiqah lain yang lebih kuat dari dirinya. Sedangkan hadis mahfzuh adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah yang lebih kuat yang bertentangan dengan perawi tsiqah lain yang tingkatannya berada di bawahnya (Syarh al-Manzhumah al-Baiquniyyah fi Mushtalah al-Hadits: 92). Dengan demikian, hadis tentang kedatangan Nabi Muhammad  pada saat penaklukan Mekkah dengan membawa liwa berwarna putih-- tidaklah bisa diterima sebagai hujjah. Namun yang sebenarnya adalah bahwa saat itu Nabi Muhammad datang dengan membawa sorban hitam.

4. Rayah Berwarna Merah
Hanya ada satu riwayat yang menyebutkan bendera berwarna merah. Imam Thabrani yang menyebutkan bahwa “Nabi mengikatkan rayah berwarna merah untuk Bani Sulaim.” Riwayat ini memang sangat aneh jika dilihat dari kebanyakan hadis yang ada. Hal itu juga diperkuat adanya rangkaian sanad yang dipertanyakan kualitas para perawi. Di antara perawinya ada seorang bernama Ahmad bin Amr al-Bazzar. Menurut ad-Duruquthni, dia adalah orang yang sering melakukan kesalahan dan lemah hafalannya. Orang-orang memperbincangkan dirinya, karena ia suka melakukan kesalahan, baik dalam aspek sanad maupun matan (Dzikr Asma Man Takallama fihi  wa Huwa Mutsiq: 37).

Dalam rangkaian sanad hadis tersebut, Ahmad bin Amr al-Bazzar memperoleh hadis dari Ammar bin Busr. Dalam bahasa lain, Ammar bin Busr adalah adalah guru dari al-Bazzar. Namun nama Ammar bin Busr tidak dikenal di kitab-kitab biografi perawi. Setelah Ammar bin Busr, terdapat perawi bernama Yahya bin Rasyid yang oleh ad-Duruquthni dimasukkan dalam daftar perawi yang dhaif dan matruk (adh-Dhu’afa wal Matrukin: 3/136). Setelah Yahya bin Rasyid, terdapat ar-Rahhal bin al-Mudzir. Ibnu Hajar menyebut bahwa ar-Rahhal tidak dikenal keadaannya, termasuk pula bapak dan kakeknya (al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah: 5/440).

5. Rayah Berwarna Kuning
Riwayat yang menyatakan bahwa bendera Rasulullah itu kuning berasal dari Abu Daud (Sunan Abu Daud: 2/37) dan al-Baihaqi (as-Sunan al-Kubra: 6/363). Riwayat ini jelas tidak bisa dijadikan hujjah karena dalam rangkaian sanadnya terdapat beberapa perawi yang tidak jelas identitasnya (majhul). Di antara perawi itu, ada perawi bernama Simak yang menerima hadis dari “seorang lelaki dari kaumnya” yang berasal dari “orang lain dari mereka”. Tentu saja, identitas yang tidak jelas demikian menjadikan riwayat hadisnya ditolak. Tak pelak, Syekh Albani pun memvonis hadis ini sebagai dha’if (Sunan Abu Daud: 2/37).
Sebagaimana dijelaskan as-Syaukani, tidak diketahuinya seorang perawi sebenarnya tidaklah tercela jika hal itu terjadi pada perawi di tingkat sahabat. Namun dalam kasus hadis ini, hal tersebut tidak bisa diterima. Hal itu karena tidak ada petunjuk bahwa perawi yang tidak diketahui itu (majhul) benar-benar seorang sahabat (Nailul Authar: 5/170). Apalagi dalam rantaian sanad tersebut ada dua perawi yang majhul, yaitu “seorang lelaki dari kaumnya” dan “orang lain dari mereka”.

6.      LiwaBerwarna Hijau
Riwayat tentang bendera hijau ini terdiri dari kalimat yang panjang. Namun kalimat yang menyinggung tentang bendera adalah sebagai berikut:... “Jika malam Lailatul Qadar datang, Allah Azza wa Jalla memberi perintah kepada Jibril untuk turun bersama kumpulan malaikat ke bumi. Mereka membawa liwa hijau dan menancapkannya di atas punggung Ka’bah..”(Syu’ab al-Iman: 3/335). Hadis ini memang tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis sahih, sunan, maupun musnad. Namun ia terdapat dalam Kitab Syu’ab al-Iman karya Imam al-Baihaqi, yang notabene lebih merupakan kitab yang berisi tentang fadhaiul a’mal.

Dalam rangkaian sanad hadis ini, terdapat perawi adh-Dhahhak bin Mazahim yang menerima hadis dari Ibnu Abbas. Adh-Dhahhak adalah seorang ulama ahli tafsir terkenal. Meski demikian, di kalangan para ulama hadis, kredibilitasnya diragukan. Syu’bah mengingkari bahwa adh-Dhahhak pernah bertemu dengan Ibnu Abbas. Menurut Abu Zur’ah, riwayat adh-Dhahhak dari Ali adalah riwayat mursal, danadh-Dhahhk juga sama sekali tidak pernah mendengar langsung riwayat dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Menurut Ibnu Hibban, semua riwayat adh-Dhahhak, baik dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas, maupun yang lain harus dianalisa terlebih dahulu (Jami’ at-Tahshil: 199).

TULISAN DI BENDERA
Dalam riwayat dari Ibnu Abbas yang dikeluarkan oleh ath-Thabrani disebutkan bahwa: “Rayah Rasulullah itu berwarna hitam, dan liwa-nya berwarna putih; tertulis di atasnya: La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah.”(Mu’jam al-Ausath: 1/77). Riwayat dari Ibnu Abbas ini juga dikeluarkan oleh Abu Syaikh dalam Akhlaq an-Nabi wa Adabuh (2/416) dan Ibnu ‘Adi al-Jurjani al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal (3/13). Selain dari jalur Ibnu Abbas, riwayat tentang tulisan di bendera ini juga terdapat dalam riwayat dari Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Ibnu Mandah dalam kitabnya al-Mustakhraj (1/408).

Dari keempat jalur sanad tersebut, semuanya memiliki perawi yang bermasalah. Tiga jalur sanad yang bersumber dari Ibnu Abbas, semuanya melewati perawi yang bernama Hayyan bin Ubaidillah dan Abi Mijlaz. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, keduanya termasuk perawi yang memiliki beberapa kelemahan. Di samping itu, riwayat yang berasal dari ath-Thabrani terdapat pula perawi bernama Ahmad bin Rasyidin yang dituding pendusta (kadzab) oleh Ibnu Adi. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Rasyidin, juga dianggap munkar oleh Ibnu Adi (al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal: 1/198). Menurut adz-Dzahabi, termasuk riwayat-riwayat batil adalah riwayat Ahmad bin Rasyidin yang dikeluarkan oleh Thabrani (Lisan al-Mizan: 1/257). Karena itulah, menurut Ibnu Hajar al-Asqallani, hadis dari Abu Syaikh ini memiliki sanad yang lemah (Fathul Bari: 9/160).

Sedangkan jalur yang bersumber dari Abu Hurairah justru lebih parah lagi. Hal itu karena dalam rangkaian sanadnya terdapat seorang perawi Muhammad bin Abi Humaid. Tak ada ulama yang memberikan penilaian positif (ta’dil) padanya. Menurut Ahmad bin Hambal dan Imam Bukhari, hadis-hadisnya adalah munkar. Menurut Yahya bin Ma’in, Ibrahim bin Ya’qub al-Jauzajani, dan Abu Zur’ah, dia adalah dhaif. Menurut an-Nasa’i, dia tidak tsiqah. Menurut Abu Hatim, ia cacat netra, hadisnya munkar dan dha’if; serta ia meriwayatkan dari para perawi yang munkar (Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal: 25/112-115). Ibnu Adi menduga bahwa terjadi takhlith pada diri Muhammad bin Abi Humaid (Dzakhirah al-Huffazh: 3/1825).

Terkait tentang adanya tulisan kalimat tauhid dalam bendera ini, Ibnu Hajar berpendapat bahwa kalimat itu sengaja ditambahkan. Kalimat itu jelas merupakan perubahan (Fathul Bari: 12/29). Shalih bin Muhammad al-Wanayan melakukan tahqiq terhadap hadis-hadis di kitab Abi Syaikh. Al-Wanayan mengomentari hadis yang menjelaskan tentang tulisan tauhid di bendera, “Setelah mempelajari sanad hadis ini, jelaslah bahwa sanad hadis ini lemah (dha’if). Hal itu karena dalam rangkaian sanadnya terdapat Abbas bin Thalib. Ia adalah perawi dh’if. Namun hadis ini bisa menjadi hasan karena adanya pendukung dari hadis-hadis lain (Akhlaq an-Nabi wa Adabuh: 2/416).

EPILOG
Dari sekian banyak hadis yang membahas tentang warna dan tulisan bendera, kebanyakan memang para perawinya bermasalah. Dengan kata lain, hadis-hadis tersebut termasuk klasifikasi hadis dhaif. Apalagi hadis-hadis yang menjelaskan tentang tulisan tauhid di bendera. Hadis-hadis tentang hal itu sangat tidak bisa dijadikan hujjah, karena di antara perawinya ada yang sangat parah kualitasnya, bahkan sampai dituding pendusta dan munkar. Namun karena banyak tawabi’ dan syawahid, hadis-hadis tentang warna bendera ini naik peringkatnya menjadi hasan gharib sebagaimana yang dikatakan oleh Imam at-Tirmidzi. Meski demikian, masih terdapat hadis yang dianggap sahih oleh ulama. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hadis itu adalah hadis dari Anas yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i yang menyatakan bahwa rayah Rasulullah berwarna hitam.

Adapun tentang fungsi bendera yang diuraikan dalam berbagai hadis, maka fungsi sebagai panji perang yang mungkin masih bisa terjadi dalam konteks zaman sekarang. Fungsi sebagai utusan khusus Rasulullah, hal itu tentu sudah tidak bisa karena beliau sudah meninggal. Fungsi sebagai penanda orang pengkhianat, hal itu terjadi nanti pada hari Kiamat. Dalam konteks di Indonesia, negara tidak sedang dalam kondisi berperang. Orang muslim juga tidak sedang berperang. Karena itu, penggunaan bendera (liwa dan rayah) di luar konteks peperangan merupakan sesuatu yang salah kaprah dan tidak sesuai dengan sunah Rasulullah SAW. Wallahu a’lam.


* Kepala KUA Kecamatan Gabuswetan Indramayu(Alumnus Jurusan Tafsir-Hadits IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Sumber : https://bimasislam.kemenag.go.id/post/opini/menyelisik-konsep-bendera-dalam-hadis

Posting Komentar untuk "Menyelisik Konsep Bendera Dalam Hadis"