Cendikiawan Muslim Komaruddin Hidayat Pertanyakan Sikap Orang Yang Sudah Haji

Cendiawan muslim yang juga Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof. Komaruddin Hidayat mengibaratkan ibadah haji seperti wisuda mahasiswa. Dari situ seseorang jadi berhak menyandang titel kesarjanaan. 

jamaah umrah melakukan tawaf di baitullah saat mulai dibuka umrah awal november 2020. foto @hsharifain
Yang paling ditakui, menurut Komaruddin, setelah mahasiswa diwisuda adalah apa yang harus dilakukan setelah itu. Ia harus terus  belejar dan juga bekerja produktif.

Seorang yang telah meraih doktor, misalnya, akan dijadikan bahan olok-olok oleh orang lain kalau berhenti membaca dan tidak produktif hidupnya. 

"Demikian juga ketika seseorang telah meraih titel haji setelah diwisuda di Tanah Suci, maka yang bersangkutan hendaknya lebih giat mendalami ilmu-ilmu keislaman dan meningkatkan amal salehnya, agar kualitas hajinya terpelihara dan selalu meningkat," tulis Komaruddin  dalam pengantar buku Orang Batak Naik Haji, karya Baharuddin Aritonang.

Ia menyebutkan, orang yang setelah haji selalu membanggakan titil dan surbannya sama halnya dengan seorang sarjana yang kemana-mana memakai baju toga dan pamer kartu nama, tetapi isi tidak bermutu.

Mengapa setelah haji harus mendalami ilmu agama? "Karena banyak sekali aspek ritual haji yang umumnya orang tidak tahu maknanya, yang asal datang ke tanah suci lalu mengikuti rombongan dan petunjuk pembimbing haji," ujarnya.

Menurut Prof Komaruddin yang juga mantan Rektor UIN Jakarta, setiap tempat dan gerakan masing-masing mengandung makna yang amat dalam, yang semuanya merupakan representasi dan pesan mengenai drama hidup manusia.

Ia memberi contoh tentang Tawaf. Secara fiqih, katanya, tawaf memang dilakukan di Masjidil Haram, berputar mengelilingi Ka'bah. Tetapi dari sudut pandang filsafat-tasawuf, tawaf yang paling berat justeru terjadi dalam kehidupan sehari-hari. 

"Itulah mencari ridla Allah dalam setiap gerakan langkah kita selama 24 jam setiap harinya. Kemampuan mengendalikan hati, pikiran, dan tindakan yang hanya tertuju pada Allah, itulah hakikat tawaf. Di sana kita dihadang oleh berbagai berhala yang harus kita lempar, kita lawan dan kita taklukkan," jelas Komaruddin.

Berjuang mengalahkan berhala-berhala di tanah air jauh lebih berat dibanding melempar jumrah di Mina. Di tanah air wujud dan jumlah syaitan jauh lebih banyak dan lebih perkasa serta sangat menggoda ketimbang soso tiang batu yang dilempari oleh jamaah haji di tanah suci.

Komaruddin menyebutkan, seyogyanya orang yang pernah berhaji rajin membeli dan membaca buku-buku seputar makna haji untuk memelihara momentum emosi dan pendalaman pemahaman intelektualnya. 

"Lebih dari itu, peristiwa haji juga bisa dlihat sebagai ikrar seseorang dengan Tuhannya untuk menjalani hidup lebih baik dan produktif," tegasnya lagi.

Komaruddin juga menyebutkan bahwa pesan sosial kemanusiaan sangat sarat dalam ibadah haji. Ia menyebutkan,  kesederhanaan pakaian ihram memantulkan semangat egalitarianisme dan spiritualisme sampai semangat pengurbanan kesmuanya menuntut komitmen sosial untuk dilaksanakan. 

Hari Raya kurban, lanjutnya, mengajari kita untuk merasa terpanggil dan dan dengan senang hati berkurban menolong sesamanya. Berapa banyak pejabat tinggi dan orang kaya di negeri ini yang pernah haji namun pelit sekali berkurban untuk orang lain.

"Yang terjadi justeru mengurbankan orang lain untuk memenuhi egonya. Jika ini yang terjadi maka pantas sekali bangsa yang mayoritas muslim ini perilaku keislamannya tidak banyak berarti bagi pembangunan bangsa," tutur Komaruddin Hidayat. (mnm) 

 

1 komentar untuk "Cendikiawan Muslim Komaruddin Hidayat Pertanyakan Sikap Orang Yang Sudah Haji"

  1. Artikel ini harus dibaca oleh orang yang sudah haji
    Nisa tp, Cibinong

    BalasHapus