Industri otomotif merupakan salah satu sektor manufaktur yang terkena dampak pandemi Covid-19. Guna menggairahkan kembali pertumbuhannya dan memacu kontribusinya terhadap perekonomian nasional, diperlukan langkah strategis yang tepat seperti pemberian relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
foto dok/ist |
Agus
mengungkapkan, negara-negara lain di dunia juga memberikan stimulus
khusus untuk industri otomotif selama pandemi. Misalnya, pengurangan
pajak penjualan sebesar 100% untuk CKD (mobil yang dirakit di dalam
negeri) dan potongan hingga 50% untuk CBU (mobil yang dirakit di negara
asalnya) yang dilakukan oleh Malaysia.
Selain itu, terdapat kebijakan
subsidi untuk kendaraan mobil listrik yang dilakukan oleh China, Jerman,
dan Perancis yang sudah diimplementasikan pada tahun 2020.
Oleh
karena itu, Kementerian Perindustrian mengusulkan relaksasi PPnBM perlu
dilakukan selama tahun 2021, dengan skenario PPnBM 0% (Maret-Mei),
PPnBM 50% (Juni-Agustus), dan 25% (September-November). "Upaya ini tentu
dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini, sehingga relaksasi
dilakukan secara bertahap," ujar Menperin menegaskan.
Menurutnya, dengan
pemberlakuan relaksasi PPnBM secara bertahap, diperhitungkan dapat
terjadi peningkatan produksi yang akan mencapai 81.752 unit.
Diperkirakan, dengan relaksasi ini, penambahan output industri otomotif
akan menyumbang pemasukan negara sebesar Rp1,4 triliun. “Kebijakan
tersebut juga akan berpengaruh pada pendapatan negara yang diproyeksi
terjadi surplus penerimaan sebesar Rp1,62 triliun,” imbuhnya.
Menperin
optimistis, pulihnya produksi dan penjualan industri otomotif bakal
membawa dampak yang luas bagi sektor industri lainnya. “Industri
pendukung otomotif sendiri menyumbang lebih dari 1,5 juta orang dan
kontribusi PDB sebesar Rp700 triliun," ungkapnya.
Agus
menambahkan, dalam menjalankan bisnisnya, industri otomotif berkaitan
dengan industri lainnya (industri pendukung), dengan kontribusi industri
bahan baku sekitar 59% dalam industri otomotif.
Lebih
dari 1,5 juta orang bekerja di industri otomotif yang terdiri dari lima
sektor, yaitu pelaku industri tier II dan tier III (terdiri dari 1000
perusahaan dengan 210.000 pekerja), pelaku industri tier I (terdiri dari
550 perusahaan dengan 220.000 pekerja), perakitan (22 perusahaan dan
dengan 75.000 pekerja), dealer dan bengkel resmi (14.000 perusahaan
dengan 400.000 pekerja), serta dealer dan bengkel tidak resmi (42.000
perusahaan dengan 595.000 pekerja).
Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan,
pemerintah serius mengkaji usulan agar produk mobil tidak terkena PPnBM.
Kebijakan ini diperlukan sebagai insentif bagi industri otomotif di
tanah air yang sedang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Menperin
menegaskan, perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 tahun 2019
merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menurunkan emisi gas buang
yang bersumber dari kendaraan bermotor. Peraturan tersebut diundangkan
tahun 2019 dan akan diberlakukan pada Oktober 2021.
"Perubahan
PP ini diharapkan dapat mendorong peningkatan pendapatan pemerintah,
menurunkan emisi gas buang, dan meningkatkan pertumbuhan industri
kendaraan bermotor nasional," ujarnya.
Di
samping itu, skema pajak PPnBM berbasis flexy engine (FE) dan CO2
berdasarkan PP 73/2019 akan mampu mendorong pertumbuhan kendaraan rendah
emisi dengan memberikan gap pajak yang cukup dengan kendaraan
konvensional, sekaligus meminimalkan penurunan industri lokal (teknologi
konvensional) dengan menetapkan kisaran pajak sesuai daya beli
masyarakat
“Revisi PP
73/2019 akan mengakselerasi pengurangan emisi karbon yang diperkirakan
mencapai 4,6 juta ton CO2 pada tahun 2035,” ungkap Agus.
Berikutnya,
industri pendukung kendaraan listrik juga akan mengalami kenaikan.
“Diharapkan pada tahun 2025 produksi kendaraan listrik nasional untuk
roda 4 dapat mencapai 20% dari kapasitas produksi atau mencapai 400,000
kendaraan,” imbuhnya. (rls|ulul).
Posting Komentar untuk "Menperin: Relaksasi PPnBM Geliatkan Industri Otomotif dan Ekonomi Nasional"