Perpres Miras Batal, Pemerintah Harus Terbitkan Perpres Baru

Presiden Jowo Widodo (Jokowi) pada hari Selasa (2/3) secara resmi menghapus poin dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang mengatur tentang pembukaan investasi industri minuman keras (miras) yang mengandung alkohol.

Yusril Ihza Mahendra dan Dradjad Wibowo (Republika)
"Saya putuskan, lampiran perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," ujar Presiden Jokowi dalam keterangannya di Istana Merdeka, Selasa (2/3) siang.

Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra menyatakan, pencabutan ketentuan tentang investasi minuman keras dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal harus diikuti dengan penerbitan peraturan baru yang merevisi peraturan tersebut. Sehingga, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak cukup hanya mencabut sebagian lampiran perpres.

"Presiden harus menerbitkan peraturan presiden baru yang berisi perubahan atas peraturan tersebut, khususnya menghilangkan ketentuan lampiran yang terkait dengan minuman keras," kata Yusril Ihza, dalam keterangan tertulisnya yang diperoleh TVhaji.net, Rabu (3/3/2021).

Yusril mengungkapkan, dengan penerbitan peraturan baru yang merevisi Peraturan Presiden tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, maka persoalan pengaturan investasi minuman keras tersebut telah resmi dihapus dari norma hukum positif di Indonesia. 

Sedangkan, ketentuan-ketentuan lain yang memberikan kemudahan terhadap investasi dalam peraturan tersebut, Yusril memandang tidak mengandung masalah yang serius sehingga tidak perlu direvisi segera.

Terkait penolakan terhadap bagian tentang investasi minuman keras dalam Peraturan Presiden Bidang Usaha Penanaman Modal, Yusril menilai itu merupakan hal yang wajar di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

"Di negara sekuler seperti Filipina saja, Gloria Macapagal Arroyo ketika menjabat sebagai presiden pernah memveto pengesahan RUU tentang Kontrasepsi yang telah disetujui senat, karena mempertimbangkan Gereja Katolik Filipina yang menentang keluarga berencana karena dianggap tidak sejalan dengan doktrin keagamaan," ujarnya pula.

Bila di negara yang mengaku sekuler, ternyata pertimbangan keagamaan tetap menjadi hal yang penting, Yusril mengatakan negara yang berdasarkan Pancasila seharusnya berbuat lebih daripada itu. Menurut Yusril, keyakinan keagamaan wajib dipertimbangkan dalam negara merumuskan kebijakan apa pun.

Langkah tersebut tidak akan otomatis menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, tetapi tetap menjadi negara yang berdasarkan Pancasila. "Saya kira, di negara yang berdasarkan Islam pun, pengaturan bagi kepentingan pemeluk-pemeluk agama selain Islam tetap ada. Hak warga negara selain Muslim wajib dilindungi dan dijamin negara yang berdasarkan Islam," katanya pula.

Ekonom senior Indef Dradjad Wibowo mengingatkan jajaran menteri ekonomi dan keuangan, serta BKPM, agar tidak lagi memikirkan membuka modal baru untuk miras. Karena dari sisi ekonomi pun beban ekonomi konsumsi alkohol sangat besar sekali.

“Dari aspek apapun, baik agama, sosial, kesehatan, bahkan ekonomi, tidak ada untungnya. Bahkan dari sisi ekonomi pun beban ekonomi akibat miras sangat besar,” kata Dradjad, Rabu (3/3/2021).

Dradjad menyambut baik langkah Presiden Jokowi yang mencabut sejumlah butir di Lampiran Perpres 10 tahun 2021 terkait dengan investasi minuman keras (miras). “Terima kasih juga kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang telah berkoordinasi dengan umat Islam dan pihak-pihak lainnya, untuk meminta Presiden untuk mencabutnya,” kata Dradjad.

Demi tertib administrasi dan tata kelola yang baik, Dradjad berharap akan segera keluar perpres baru yang merevisi Perpres 10 tahun 2021. Diharapkan sekretarian negara bisa segera menyiapkan perpres baru. “Selama belum ada perpres baru maka sejumlah butir 31, 32, 33, 44, 45 dari Lampiran III Perpres 10 tahun 2021 yang dicabut, akan tetap berlaku. Masih sah sebagai dasar hukum,” papar Dradjad.

Pertimbangan lain, lanjut Dradjad, berdasar UU Cipta Kerja, miras tidak masuk dalam daftar negatif inventasi (DNI). “Jangan ada kekosongan hukum karena UU di atasnya tidak memasukkan miras sebagai DNI,” kata Dradjad.

Dradjad menyarankan kepada pemerintah, khususnya para menteri di bidang ekonomi dan keuangan, termasuk BKPM untuk tidak lagi memikirkan membuka modal baru untuk miras. Karena dari sisi ekonomi pun biaya ekonomi konsumsi alkohol besar sekali.

Kalau yang dijadikan alasan adalah substitusi impor miras, menurut Dradjad, impor miras juga kecil. Besarannya hanya sekitar 40,44 juta dolar AS atau sekitar Rp.600 miliar pada 2018.

Di sisi lain, konsumsi minuman beralkohol di Indonesia masih rendah. Per 2016 hanya sekitar 0,8 liter per kapita per tahun.  “Jika investasi baru miras dibuka tentu mereka akan berupaya meningkatkan konsumsi miras di Indonesia,” kata Dradjad.

Jika dibanding di Timor Leste, konsumsi miras sudah 2,1 liter per kapita per tahun. Dengan konsumsi sebesar itu, kata Dradjad, Timor Leste sudah mulai berusaha untuk menguranginya. Ini karena mereka melihat dampak sosial, kesehatan, dan sebagainya. (rol|ulul|alfa).

Posting Komentar untuk "Perpres Miras Batal, Pemerintah Harus Terbitkan Perpres Baru"